Rabu 23 Apr 2014 08:29 WIB

Mengenal Ilmu Usul Fikih (2-habis)

Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.

Oleh: Syahruddin El-Fikri     

''Ilmu usul fikih memiliki peran penting dalam memengaruhi pembentukan pemikiran fikih,'' jelas Abu Zahrah.

Adapun ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara (seperti wajib, sunah, makruh, halal, haram, dan mubah/boleh) mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dalam nash Alquran dan hadis Nabi SAW.

Ada pula yang menambahkannya dengan dalil-dalil atau pendapat (ijtihad) dari para ulama, seperti ijmak dan qiyas.

Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa usul fikih adalah sebuah metode yang ditempuh para ulama (ahli ijtihad) dalam menetapkan hukum-hukum syara yang dilakukan oleh seorang mukalaf (sudah dewasa atau orang yang sudah dibebani hukum), tentang halal, haram, wajib, sunah, atau makruhnya suatu perbuatan. Sedangkan, fikih adalah hasil dari hukum-hukum syar'i dari metode yang digunakan itu.

Misalnya, seorang Muslim diwajibkan berpuasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Albaqarah [2]: 183-186. Dasar dari kewajiban shalat antara lain adalah surah Arrum: 31, Almujadalah: 13, dan Almuzammil: 20. Dasar larangan meminum khamar (yang memabukkan) adalah Almaidah ayat 90.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, hal itu menjadi pedoman bagi umat dalam melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.

Dengan mengetahui dalil-dalil tersebut, kata A Hanafie dalam bukunya Usul Fiqh, umat akan menjadi seorang pengikut yang baik karena memahami apa yang diikutinya (ittiba'). Sehingga, mereka tidak menjadi seorang Muslim yang sekadar ikut-ikutan (muqallid) tanpa mengetahui dasar hukumnya (taklid buta, yang penting ikut apa kata mereka, atau pokoknya kata si A, B, C, dan lainnya).

Wajib bermazhab?

Bagaimana bila umat tersebut tak mampu melakukannya secara sendirian? Bolehkah ia mengikuti pendapat atau mazhab tertentu? Sebagian kalangan ada yang melarang keras bermazhab, bahkan ada yang antimazhab.

Namun, sebagian lainnya membolehkan ketika umat memang tidak mampu melakukan penggalian terhadap hukum Islam.

Karena banyaknya umat Islam yang tak mampu dalam melakukan hal tersebut, Anas Thohir Syamsuddin pernah menulis, "Bermazhab dalam arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid, seperti Malik, Syafii, dan lainnya, itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang belum mampu melakukan ijtihad." Wallahua’lam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement