Oleh: Azyumardi Azra*
Dalam lokakarya tentang “Revitalisasi Cagar Budaya Makam Walisongo”, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud awal Januari 2013 mengungkap, pengelolaan makam-makam Walisongo yang tergabung dalam Persatuan Pemangku Makam Awliya (PPMA) masih menghadapi sejumlah masalah.
Tetapi, jika dibandingkan dengan pengelolaan situs makam penyiar Islam dan figur terkemuka Muslim di tempat lain, semacam makam Syekh Yusuf al-Makassari di Goa, Sulawesi Selatan, Dato Karama di Palu, misalnya, pengelolaan makam-makam Walisongo masih jauh lebih baik.
Di tengah peningkatan arus ziarah keagamaan, pengelolaan situs-situs makam semestinya juga melibatkan penggunaan teknologi informatika mutakhir yang memberikan informasi historis yang dapat diakses secara instan.
Juga, perlu modifikasi penataan lingkungan situs secara keseluruhan, yang memungkinkan terselenggaranya ziarah dengan baik dan mengurangi—jika tidak menghilangkan sama sekali—berbagai tindakan yang mengotori makna hakiki ziarah. Memang sulit diingkari, terjadinya praktik-praktik “menyimpang” yang dilakukan kalangan peziarah.
Ada mereka yang tidak menjadikan ziarahnya sebagai reminder bahwa mereka pun akan wafat, tetapi justru meminta kekayaan, kekuasaan, jodoh, dan seterusnya. Tetapi, juga simplistis menyatakan, hal seperti ini sebagai gejala atau praktik umum.
Kebanyakan masyarakat berziarah untuk mengenang jasa penghuni makam tersebut sambil membaca ayat-ayat suci Alquran dan doa. Dan, hal terakhir inilah yang perlu didorong terus-menerus.
*Cendekiawan Muslim