Oleh: Syahruddin El-Fikri
Selama lebih dari 300 tahun, filsafat telah ditanamkan semata-mata hanya pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), terbatas pada olah nalar dalam menganalisis bahasa, berpandangan skeptis yang menolak kebenaran universal, dan tidak ada hubung annya dengan isu moral dan ke manusiaan.
''Akibatnya, filsafat, yang dalam makna aslinya berarti cinta kebijaksanaan, sesungguhnya telah mati dan ia bermetamorfosis menjadi misosophy (benci pada kebijaksanaan),'' terang Husain.
Hal yang sama juga disampaikan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr M Amin Nurdin.
Menurutnya, tradisi filsafat mulai hilang dari masyarakat In donesia. ''Manusia seolah men jadi aktor (pemain) saja, namun tidak bisa menjadi sutradara,'' jelasnya.
Amin menyebutkan, bagaimana zaman dulu ketika Sutan Takdir Alisyahbana menggali filsafat menjadi pandang an atau jalan hidup yang bersumber dari kebudayaan. ''Sekarang, masyarakat kita sangat gampang berbuat kekerasan, anarkisme, dan lainnya,'' terangnya.
Keprihatinan juga diungkapkan pendiri ICAS, Haidar Bagir. Menurut Haidar, filsafat Islam bisa mendorong kaum Muslim benar-benar memahami kompleksitas persoalan pembangunan sistem-sistem kehidupan alternatif.
Hanya dengan menguasai isu-isu filosofis mendasar, papar dia, kaum Muslim dapat berpartisipasi dalam upaya mencari sistem-sistem terbaik bagi kepentingan semua orang.
Menurutnya, filsafat Islam lebih baik dan kaya cakupannya dibandingkan filsafat Barat, baik dalam hal sains, ilmu dasar, metafisika, epistemologi realis-konstruktif, maupun bersifat religius. ''Hanya karena kurang penghargaan terhadap Islam sehingga filsafat Islam terlihat menjadi luntur,'' paparnya.