Kamis 24 Apr 2014 01:30 WIB

Tantangan Dai Muslimah (2-habis)

ketua umum badan kontak majelis taklim (bkmt) tutty alawiyah as
Foto: dok.bkmt
ketua umum badan kontak majelis taklim (bkmt) tutty alawiyah as

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti

Wanita juga wajib berdakwah.

Seorang daiah juga harus mampu meningkatkan antusiasme jamaah. Menurut Nurma, saat ini banyak sekali tayangan hura-hura yang lebih diminati.

Melihat minat jamaah saat ini, seorang daiyah harus mampu meramu antara materi dakwah dengan pembawaan yang ringan dan ceria. Sehingga, saat berdakwah jamaah tidak merasa bosan karena daiah yang monoton.

“Daiah harus pandai menggunakan berbagai metode agar jamaah mau secara rutin untuk mengaji,” jelas dia. Meskipun, berdakwah tidak hanya ucapan saja, tetapi juga perilaku sehari-hari harus menjadi teladan.

Dakwah, ujar Nurma, juga tak mesti lewat kajian. Seorang wanita yang bekerja di kantor istiqamah dengan jilbabnya, dia sudah menjadi bagian dakwah.

Segmentasi seorang daiah juga tak hanya menyasar Muslimah saja. Objek dakwah laki-laki hingga anak-anak juga meski didekati. "Namun, harus berpenampilan rapi dan syar’i."

Konsultan Rumah Fiqih Indonesia Aini Aryani mengatakan, tantangan sebagai seorang daiah ada dua macam.

Pertama, tantangan eksternal berupa objek dakwah tidak menyambut dakwah Muslimah dengan baik. "Ada yang mendengarkan, tapi tak mengamalkan. Atau yang datang kajian sedikit. Itu tantangan," ungkapnya.

Aini menyarankan agar daiah memahami kondisi psikis jamaahnya. “Saat mengisi di majelis taklim dengan ibu yang paruh baya biasanya kajian yang diberikan tidak terlalu berat,” ujar dia.

Saat kajian sebisa mungkin diiringi dengan candaan ringan, tetapi tetap berbobot. “Saat ini, banyak daiah yang mengisi kajian hanya lucu saja, tetapi tidak ada isinya,” papar dia.

Sedangkan, tantangan internal adalah ketika seorang daiah tidak lagi meningkatkan kapasitas ilmunya. Padahal, perkembangan zaman berakibat pada semakin kompleksnya masalah yang dihadapi umat.

"Dahulu, orang berkendara hanya menggunakan unta, sehingga untuk shalat dapat berhenti di mana saja dan kapan saja. Berbeda dengan saat ini ketika masuk waktu shalat dihadapkan dengan jalan yang macet, di pesawat yang terbang, atau di kereta api,” ujar lulusan Internasional Islamic University Islamabad, Pakistan, ini.

Seorang daiah harus terus meningkatkan ilmunya dengan mengkaji kitab-kitab dan berguru ke ulama. Selain itu, seorang daiah juga tak boleh memaksakan menjawab jika memang belum mengerti jawaban pertanyaan jamaah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement