REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berjalanlah ke manapun di Kota Jakarta. Entah di pusat keramaian, seperti pasar dan stasiun, atau di tikungan sepi kompleks perumahan, Anda pasti akan menjumpai pangkalan ojek. Mengguritanya ojek di Ibu Kota menjadi fenomena unik yang sarat makna.
Melimpahnya ojek adalah ekspresi putus asa warga kota terhadap ketidakberesan tata transportasi massal. Ojek juga menjadi pelarian masyarakat lapis bawah dari ketiadaan lapangan pekerjaan.
Melewatkan hidup sehari-hari di jalanan, para penarik ojek punya segudang cerita. Beberapa hari pada pertengahan April, ROL mengunjungi sejumlah pangkalan ojek dan menggali kisah dari mereka. Di pangkalan ojek daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat, kami berjumpa dengan Dahlan (43) dan kawan-kawannya.
Dahlan bercerita, pangkalan ojek yang berada persis di samping halte Transjakarta itu dibuka atas inisiatif dia dan beberapa orang kawannya, beberapa tahun lalu. Kini, sudah ada 15 penarik ojek di sana.
Ia menerangkan, sasaran utama para tukang ojek adalah penumpang Transjakarta. Ia berujar, kebanyakan yang menggunakan jasanya adalah golongan pekerja kantoran dengan tujuan utama kawasan Sudirman dan Thamrin.
Sebelum menjadi tukang ojek, Dahlan mengaku bekerja serabutan. Karena merasa tak ada lagi pilihan pekerjaan, dia menyandarkan nasib sebagai tukang ojek.
Tempat tinggal Dahlan sebenarnya terbilang jauh, di Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tiap hari, Dahlan pulang-pergi Jakarta-Bogor menggunakan kereta Commuter Line. Dahlan menitipkan motornya kepada kawannya, tak jauh dari pangkalan.
Tiap hari Dahlan biasa mengantongi Rp 70 ribu hingga Rp 150 ribu. Ditanya soal cukup-tidaknya untuk kebutuhan rumah tangga, Dahlan menjawab diplomatis, “Ya, harus dicukup-cukupkan. Kalau enggak begitu, manusia hidup enggak akan pernah merasa cukup."
Ada cerita menarik dari pengkalan Dahlan. Ia menceritakan, setiap akhir pekan, mereka biasa mendapat pungutan dari polisi yang melakukan patroli. Tak hanya pangkalannya, kata dia, aparat dari polsek setempat itu juga memungut dari setiap pangkalan yang ada di wilayah tersebut. Selain tukang ojek, menurut Dahlan, polisi juga biasa mencatut dari tukang parkir dan penjaja jasa lainnya yang hidup di pinggir jalan.
Di pangkalan ojek di daerah Pejaten, Jakarta Selatan, ROL bertemu Abdullah (66) dan teman-temannya. Pangkalan Abdullah berada di tikungan, di samping kompleks permukiman yang terbilang mewah serta tepat di depan salah satu kampus swasta.
Kepada ROL Abdullah bercerita, para tukang ojek di pangkalannya berasal dari lingkungan sekitar. Menurut dia, hampir semua yang bergabung menjadi penarik ojek di sana adalah mereka yang kehilangan pekerjaan.
Sony (42), kawan Abdullah, mengaku beralih profesi menjadi tukang ojek setelah dia di-PHK dari sebuah pabrik baja di kawasan Cikarang, Bekasi. Padahal, kata Sony, dia sudah 20 tahun bekerja di sana.
“Mereka maunya begitu, memutus yang lama, ganti dengan yang baru pakai sistem outsourcing, jadi lebih murah,” ujar dia mengenang.
Selain Sony, ada juga Yudi (40). Sebelumnya, Yudi adalah pengurus salah satu masjid di wilayah tersebut. Beberapa tahun yang lalu, kata dia, masjid yang berstatus milik pribadi itu dipindahtangankan pemiliknya dan dia pun tak lagi dipekerjakan.
Abdullah yang dianggap sesepuh di pangkalan tersebut ternyata adalah pensiunan Pertamina. Setelah pensiun dini, ia mengisi hari-harinya dengan menjadi penarik ojek.
Ia berpendapat menjadi tukang ojek penuh dengan risiko. Di pangkalannya saja, sudah dua orang yang sepeda motornya dirampas penjahat yang berpura-pura menjadi penumpang. “Mereka dihipnotis di tempat sepi, surat-surat diminta, motor mereka dibawa kabur,” tutur mantan ketua RT tersebut.