Oleh: Heru Susetyo*
Data saat ini menunjukkan bahwa ada 18 lembaga amil zakat (LAZ) yang telah memperoleh izin menteri agama di Indonesia, dari sekitar 300 lembaga sejenis.
Ketentuan harus berbentuk ormas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah amal sosial ke ranah pemberdayaan pembangunan.
Langkah ini, antara lain, dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Umat (1999).
Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini adalah tidak didirikan oleh ormas Islam dan tidak sekali-kali akan menjadi ormas apabila ketentuan tentang ormas yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam UU Ormas No 8 Tahun 1985 yang sudah kedaluwarsa dan mengandung semangat yang tidak demokratis dari Orde Baru.
Sejarah nusantara juga menunjukkan bahwa dunia perzakatan telah hidup dan berkembang sebagai bagian dari dinamika masyarakat. Bahkan, pengelolaan zakat di masyarakat nusantara secara tradisional adalah berusia jauh lebih tua dari negara RI sendiri yang lahir pada 1945.
Sekian lama Republik Indonesia tidak pernah hadir dalam urusan zakat, namun zakat (termasuk infak, sedekah, dan juga wakaf) tetap hidup dan berkembang di masyarakat. Masyarakat Muslim menyadari bahwa zakat adalah rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang mampu.
Permasalahan berikutnya, Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini juga berpotensi melahirkan kriminalisasi.
Pasal 38 jo 41 menyebut secara tersurat bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang, perbuatan itu diancam pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta (lima puluh juta rupiah).
*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia