REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi telah menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) gula sebesar Rp 8.250 kemarin. Hasil tersebut didapat berdasarkan hitungan rendemen sebesar 8,07 persen dari gula.
Namun bagi petani, HPP yang telah ditetapkan tersebut tidak membantu dari segi keuntungan. "Kita sudah tidak ada harapan, harapannya buntung," kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Republika Indonesia (APTRI) Abdul Wachid, Selasa (6/5).
Abdul mengatakan, apabila harga yang ditetapkan tidak menguntungkan tentu akan mengganggu swasembada. Petani akan malas bekerja sebab tidak mendapat keuntungan. Lahan tebu bisa diganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Produksi yang bagus tentunya harus dihargai dengan baik pula. Selain itu juga menjaga kesejahteraan petani.
Jatuhnya angka HPP gula sebesar Rp 8.250, Menteri Perdagangan melihat dari segi harga gula dunia. Saat ini gula produksi Brazil dan Thailand sedang banjir. Sehingga harga gula dunia jatuh di angka sekitar Rp 8.000 sampai Rp 8.100. Sementara di dalam negeri harga tersebut tidak menutupi biaya produksi, apalagi mendapat keuntungan.
Abdul menjelaskan, rendemen gula tidak mungkin mencapai delapan persen. Paling kecil yakni enam hingga tujuh persen. Namun tujuh persen juga jarang tercapai. Itu sebabnya HPP yang ditetap akan menyebabkan kerugian.
Sementara hasil kalkulasi APTRI berdasarkan rendemen, termasuk Biaya Pokok Produksi (BPP) dan sewa lahan berada di angka Rp 9.500. Di angka tersebut petani baru bisa mendapatkan keuntungan. Saat ini total produksi gula nasional sekitar 2,5 juta ton dengan luas lahan 450 ribu hektare. Petani masih menyewa sebagian besar lahan.