REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Selama lebih dari 15 tahun Australia membantu sejumlah lembaga di Indonesia melakukan program yang memudahkan akses hukum bagi warga di Indonesia. Australia merupakan mitra kuat Indonesia dalam upaya perbaikan layanan hukum di Tanah Air.
Di tengah apriori dan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap lembaga peradilan, ternyata upaya reformasi di sektor ini bukan sekadar slogan. Telah banyak pembenahan yang dilakukan di sejumlah lembaga peradilan di Indonesia.
Pakar hukum Asia dari Universitas Melbourne, Australia, Profesor Tim Lindsey bahkan menilai pencapaian reformasi peradilan di Indonesia luar biasa. “Sesuai dengan proses reformasi, juga terjadi semacam reformasi peradilan di Indonesia, misalnya amandemen UUD’45 termasuk yang melahirkan kembali sistem peradilan di sini, sebagai cabang pemerintah yang independen," jelasnya, belum lama ini.
Hal itu, tambah Prof Lindsey, jadi landasan untuk banyak perubahan dalam sistem perdilan disini termasuk yang dikatakan sistem satu atap yang baru diterapkan pada tahun 2004-2005.
"Berarti reformasi sistem peradilan di sini umurnya baru 10 tahun. Dan dalam periode 10 tahun itu yang terjadi boleh dikatakan revolusi dalam sistem peradilan Indonesia", begitu ujar Prof Lindsey kepada Iffah Nur Arifah dari ABC Internasional.
Menurut Prof Lindsey bahwa pencapaian reformasi peradilan Indonesia ini melampaui banyak negara lain di dunia.
Ia mencontohkan Thailand yang memulai gerakan reformasinya bersamaan dengan Indonesia, pascahantaman krisis moneter internasional pada tahun 1998 lalu, yang sampai saat ini masih belum stabil kondisi politik di dalam negerinya.
Selain itu, menurut Prof Lindsey, sistem peradilan satu atap yang kini dianut Indonesia melahirkan banyak terobosan di sektor hukum yang semakin memudahkan akses hukum bagi masyarakat luas.
Prof Tim Lindsey mencontohkan penyelenggaraan pengadilan terbuka dengan sidang keliling bagi masyarakat di kota terpencil.
Peradilan terbuka dengan bentuk sidang keliling ini mencontoh sistem serupa yang diterapkan di Australia untuk menolong warga yang tinggal di daerah pedalaman Australia mengakses hukum.
Adopsi sistem peradilan ini dimungkinkan lewat kerja sama Kemitraan Indonesia dan Australia di sektor hukum melalui program Australia Indonesia Partnership for Justice atau AIPJ. Kemitraan in, menurut Prof Lindsey, sangat unik dan menjadi referensi kerja sama serupa yang dilakukan Australia dengan negara lain.
Keunikan itu dikarenakan program-programnya ditentukan langsung oleh otoritas hukum kedua negara, yakni Mahkamah Agung Federal Australia, Mahkamah Agung Indonesia dan Peradilan Keluarga di Australia.
Kata Prof Lindsey, "Yang menarik tujuan kerjasama ini bukan untuk membantu para hakim, bukan untuk meningkatkan fasilitas di pengadilan, tetapi untuk membantu kaum miskin di Indonesia yang paling marjinal dan lemah dalam konteks politik dan sosial".
Ia menambahkan, "Program kemitraan ini terfokus pada wanita atau perempuan, kepala keluarga, disable atau tinggal di daerah terpencil karena mereka yang mengalami tantangan yang paling besar untuk mengakses keadilan."
Kemitraan lewat program AIPJ ini juga banyak memberikan pelatihan-pelatihan bagi otoritas pengadilan untuk memperbaiki layanan dan keterbukaan informasi. Program ini berhasil mengurangi kebuntuan atau backlog hukum di Mahkamah Agung lebih dari separuhnya pada tahun lalu.
Saat ini AIPJ juga sedang mendorong pembentukan Pos Bantuan Hukum di pengadilan-pengadilan di Indonesia yang bisa memberikan layanan bantuan hukum gratis bagi warga setempat.
Dengan kondisi ini, menurut Prof Lindsey, masyarakat Indonesia harus lebih optimistis melihat masa depan pelayanan di hukum di Tanah Air. Apalagi menurutnya, meski masih banyak catatan di bidang peradilan dan hukum, namun Indonesia memiliki banyak aparat hukum yang berkomitmen tinggi dalam memajukan pelayanan dan akses hukum bagi warga.