REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Pemberontak Ukraina Timur pendukung Rusia tetap menggelar referendum pemisahan diri di Donetsk dan Luhansk. Mereka tetap tidak menghiraukan kecaman dari berbagai pihak termasuk Kiev dan negara-negara Barat.
BBC melaporkan, di tempat pemungutan suara dilaporkan kekacauan sempat terjadi. Bilik pemungutan suara serta daftar pemilihan juga tak tersedia. Para pemimpin pemberontak yang memproklamirkan diri di Donetsk dan Luhansk bersikukuh menggelar pemungutan suara meskipun Presiden Rusia mendesak untuk menundanya.
Dalam referendum tersebut, surat suara referendum yang ditujukan untuk para pemilih tertulis 'Apakah anda mendukung langkah pemisahan diri Republik Rakyat Donetsk/Republik Rakyat Luhansk?'
Pejabat di tempat pemungutan suara Sloviansk mengatakan referendum telah dilakukan dengan lancar. Namun, seorang kepala sekolah pendukung Ukraina mengaku telah diancam akan dibunuh karena tak mengizinkan para pemberontak menggunakan sekolahnya sebagai tempat pemungutan suara.
Ukraina mengecam langkah tersebut sebagai lelucon yang dilakukan oleh Rusia. Pejabat di Kiev, kepala keamanan nasional Andriy Parubiy, mengatakan bahwa pihaknya tidak menganggap referendum tersebut ada.
Dalam pernyataannya, Jen Psaki, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, mengatakan referendum tersebut ilegal di bawah undang-undang Ukraina. "(Referendum) merupakan langkah untuk menciptakan perpecahan dan kerusuhan (di Ukraina). Jika referendum ini tetap berlanjut, mereka akan melanggar hukum internasional. AS tidak akan mengakui hasil referendum ini," jelasnya.