REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Megawati Sukarnoputri dikenal sebagai tokoh politik yang irit bicara. Sikap ini kembali ditunjukan Mega pada hari deklarasi pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai capres-cawapres, Senin (19/5).
Di tengah keriuhan ratusan awak media yang datang meliput, tak satu pun keluar pernyataan Megawati soal alasan menjadikan JK sebagai cawapres. Padahal pernyataan Mega ini yang dinanti-nanti publik.
Hari itu ada setidaknya dua kesempatan yang bisa digunakan Mega untuk bicara soal alasan penetapan JK menjadi cawapres Jokowi. Pertama, saat konferensi pers Ketua Umum Hanura, Wiranto tentang deklarasi mendukung Jokowi-JK. Kedua, saat pengenalan Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres Jokowi. Tapi Mega memilih menyimpan kata.
Memang harus diakui dalam dua kesempatan tersebut bukan cuma Mega yang tak memberi pernyataan ke media. Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh dan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar juga tak mendapat kesempatan bicara. Bedanya, Paloh dan Muhaimin gampang dimintai pendapat. Keduanya tak sungkan menjawab pertanyaan media soal alasan JK menjadi cawapres Jokowi.
Paloh misalnya menjelaskan JK dipilih menjadi cawapres karena dianggap berpengalaman dan bisa melengkapi figur Jokowi. "Pak JK cawapres. Pasangan ini bisa saling melengkapi," kata Paloh saat tiba di kediaman Megawati.
Sementara Muhaimin mengungkapkan, tiga alasan partainya mendukung JK sebagai cawapres. "Elektabilitas tinggi tertinggi, dia juga NU. Pengalaman juga," kata Muhaimin.
Mendapat pernyataan Mega memang susah-susah gampang. Puteri Proklamator Sukarno itu bisa berbicara panjang lebar mengenai persoalan sejarah, demokrasi, dan bangsa. Tapi ia minim kata saat diminta mengomentari kegaduhan politik yang berkembang.
Seringkali Mega hanya meminta struktur pengurus PDIP dalam menjelaskan sikap politik partai. Padahal dalam posisinya sebagai ketua umum dan tokoh nasional yang dihormati, publik berhak mendapat penjelasan langsung pandangan Mega.
Gaya komunikasi politik Mega bukan tidak pernah mendapat sorotan. Pakar komunikasi politik, Tjiptalesma menyebut Megawati sebagai tokoh nasional dengan gaya komunikasi politik terburuk. Tutur kata Megawati dianggap terlalu berkelas sehingga sulit diterjemahkan rakyat awam.
Mega juga sering hanya mengumbar senyum saat menerima pertanyaan wartawan. "Komunikasi politik Mega sangat jelek. Mega ditanya sering senyum-senyum saja, sangat high context dan jarang memberikan solusi," kata Tjipta awal November 2013.
Suatu hari, medio Februari 2013, Mega sempat curhat soal pandangannya terhadap media di Indonesia. Di sela-sela konferensi pers Pilkada Jawa Barat, Mega menyebut media acap tidak utuh dalam mengutip pernyataannya. Gara-gara ini ia merasa sering dirugikan.
Ambil contoh misalnya soal kritik terhadap program Bantuan Langsung Tunai yang diberikan pemerintah ke masyarakat. Mega bilang dia bukannya menolak kebijakan pemerintah membantu masyarakat, tapi dia menolak cara pemerintah membantu masyarakat yang terkesan merendahkan.
"Omongan saya ke redaksi pasti di-cut, cut enggak masuk," kata Mega. Lalu inikah alasan Mega minim bicara?