REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Lebih dari sepertiga penduduk Sudan Selatan atau sekitar empat juta orang terancam kelaparan hingga akhir tahun ini akibat kemelut di negara termuda di dunia itu, kata pejabat PBB, Selasa.
Bentrokan pemberontak dengan pasukan pemerintah menghancurkan pasar dan memaksa rakyat meninggalkan ternak serta ladang mereka, kata petugas bantuan kemanusiaan.
"Kami kehabisan waktu. Para petani seharusnya menanam tanaman mereka sekarang," kata Valerie Amos, koordinator bantuan kemanusiaan PBB dalam konferensi pendonor di Oslo.
"Jika tidak, dan jika peternak tidak bisa membawa ternaknya ke padang rumput, mereka akan kehabisan makanan," katanya.
Kekerasan meletus di negara penghasil minyak itu pada Desember menyusul perebutan kekuasaan antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya Riek Machar.
Ribuan orang tewas dalam kekerasan berlatar belakang etnis itu, yang seringkali menghadapkan warga suku Dinka asal Presiden Kiir melawan suku Nuer yang merupakan suku asal Machar.
Kedua tokoh yang mendapat tekanan dari Barat maupun dari kawasan untuk mengakhiri konflik itu, menandatangani gencatan senjata awal bulan ini.
Namun kesepakatan itu tidak bertahan lama dan asisten direktur eksekutif Badan Pangan Dunia (WFP) Elisabeth Rasmusson mengatakan ia mendapat laporan adanya bentrokan baru di kota Malakal pada Senin malam.
"Kami rasa hingga akhir tahun ini, 1,5 juta orang akan terusir dari rumahnya, 850 ribu mengungsi dan empat juta orang terancam kelaparan," kata koordinator kemanusiaan PBB di Sudan Selatan, Toby Lanzer di sela-sela konferensi tersebut.
Sudan Selatan merdeka dari Sudan pada 2011. Kemelut di negara itu telah mengurangi produksi minyak yang merupakan komoditas penting bagi perekonomian negara.
Pejabat PBB di Oslo mengatakan mereka membutuhkan bantuan senilai 1,8 miliar dolar AS, lebih tinggi dari data sebelumnya sebanyak 1,3 miliar dolar AS.
Pada Selasa, negara-negara donor termasuk Amerika Serikat, Inggris dan Norwegia, sepakat untuk memberi bantuan lebih dari 600 juta dolar AS, selain 536 juta dolar komitmen bantuan yang telah ditetapkan.
Kekerasan di negara itu mengganggu penanaman sorghum, jagung, dan kacang tanah serta memaksa peternak meninggalkan ternak mereka atau membawanya ke kawasan yang gersang.
"Semua ini menambah tekanan bagi kehidupan warga," kata Lanzer. "Pesan terbesar yang saya dapat dari Sudan Selatan adalah 'beri saya perdamaian selama sebulan supaya bisa bercocok tanam dan menjaga ternak saya'," katanya.
Para pedagang Ethiopia, Kenya dan Uganda yang banyak menguasai perdagangan di pasar lokal juga sudah lari, katanya.