Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Banyak jalan menuju Roma, namun pada akhirnya selalu berakhir pada dua pilihan. Pemilihan Presidenpun mengerucut pada dua poros pilihan. Poros Prabowo – Hatta dan poros Jokowi – Jusuf Kalla. Terus terang saya kurang paham dalam politik. Karenanya saya mulai bowsing mencari data dan informasi mengenai program-program dan visi misi kedua poros calon pemimpin tersebut. namun sayang yang banyak tersebar infonya malah tentang keburukan kedua tokoh poros tersebut. tentang jejak rekam kehidupan masa lalunya, dosa-dosa masa lalu, manipulasi dan sebagainya. Memberi kesan bahwa tidak ada yang “bersih” dari kedua belah poros yang ada. Jika benar seperti itu, boleh jadi yang mana yang sudah bertobat saja mungkin yang saya pilih.
Saat ini diselang pertemuan, saya sering meminta pendapat beberapa teman tentang pilihan mereka. Ada yang begitu fasih menyampaikan ada juga yang sekenanya, bahkan ada yang penting nyoblos , lebih lagi ada yang berniat golput. Agak heran juga akhirnya, jika professor atau pengamat dengan analisanya ternyata suaranya sama nilainya dengan beberapa orang yang akan memilih sekenanya, apalagi yang walaupun dengan bercanda menyebutkan “wani piro”.
Amanahkah mereka Ya Rabb?, amanahkah saya, amanahkah system ini?. Bagaimana jika saya tidak menggunakan hak suara saya? Bukan karena apatis atau golput tapi lebih karena tidak mampu memilih. Ah, inilah kekurangan system “one man one vote”. Semua orang suaranya disamaratakan, tidak peduli ahli atau pemula. Jujur atau penipu, pesakitan atau bukan, rekam jejak, profesi, status dan sebagainya sudah tidak penting lagi. Semua sama, tidak bisa diwakilkan suaranya dan tidak memilih artinya golput. Adakah survey yang mencoba menghitung berapa sebenarnya hitungan yang akurat dari masyarakat yang pandai atau benar-benar paham dalam memilih.
Teringat bagaimana sistem pemilihan khalifah setelah sahabat Umar bin Khattab ra. ditikam dalam suatu subuh. Mereka berkata: Berwasiatlah, wahai Amirul Mukminin, carilah pengganti. Ia menjawab: Saya tidak mendapatkan orang yang lebih berhak dengan urusan ini daripada sekumpulan orang yang ketika Rasulullah SAW meninggal dunia beliau meridhai mereka. Kemudian Umar menyebut nama Ali, Utsman, Zubair, Thalhah, Sa’ad, dan Abdurrahman. [HR Bukhari]
Beliau kemudian menunjuk Ibnu Umar, anaknya sebagai saksi dan tidak diperbolehkan melakukan campur tangan dalam urusan ini (yakni ikut sebagai calon penggantinya). Keenam sahabat tersebut, adalah orang-orang yang ’alim terhadap ilmu agama dan pemerintahan. Abdurrahman kemudian mengajukan usul agar tiga orang dari enam orang ini mundur dari kandidat. Maka mundurlah Zubair, Thalhah dan Sa’d bin Abi Waqqash, masing-masing memberikan dukungan kepada Ali, Utsman dan Abdurrahman dengan satu suara. Kemudian Abdurrahman berkata:”Siapapun (dari) kamu yang terlepas dari urusan pilihan ini, maka kami akan menjadikan urusan kepemimpinan kepadanya, semoga Allah dan Islam akan mengawasinya”.
Abdurrahman kemudian bertanya apakah mereka berdua mewakilkan dirinya untuk melakukan pemilihan? Maka sepakat keduanya memberikan kewenangan kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih antara Ali dan Utsman (karena dengan demikian Abdurrahman sekaligus mengundurkan diri dari pemilihan). Baru kemudian pilihan dijatuhkan kepada Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga dalam sejarah Islam.
Subhanallah, rakyat yang tidak pahampun tidak jadi ribet atau justru salah menggunakan amanah karena ketidakpahamanannya. Mereka bisa mewakilkan pada orang yang benar-benar terjaga kejujurannya, kompeten sekaligus sholeh.
Namun dalam kondisi krisis kepercayaan seperti ini, manakah system yang lebih tepat. Cara sahabat memilih khalifah, atau demokrasi “one man one vote” ataukah sistem wani piro?
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pimpinan lembaga dakwah iHAQi, penulis buku 99 Celoteh Kang Erickyusuf. http//www.ihaqishop.com – twitter @erickyusuf – [email protected]