REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan pemerintah harus segera melibatkan DPD dalam proses pembuatan dan pembahasan rancangan undang-undang (RUU). Ini sebagai konsekuensi logis atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan DPD di bidang pembuatan legislasi.
"Kalau orang mengatakan putusan MK (melibatkan DPD) mempersulit legislasi, itu orang tidak memahami konstitusi," kata pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra dalam acara Sarasehan Wartawan dan DPD 'Mengadopsi Model Tripartit (DPR, DPD, Presiden) dalam revisi UU MD3' di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Jumat (23/5).
Saldi menyatakan putusan MK sebenarnya membuat proses pembuatan undang-undang lebih sederhana. MK mengharuskan DPR mematuhi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 20 yang menyebut setiap RUU dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Artinya, imbuh Saldi, apabila mengacu ke Pasal 22D UUD 1945, maka DPD sebagai lembaga setara dengan DPR memiliki hak terlibat di dalam pembahasan RUU. Selama ini proses pembuatan RUU berlarut-larut karena pembahasan dilakukan antara pemerintah dan fraksi-fraksi.
"Pemerintah, itu harus berhadapan dengan 9 fraksi, padahal konstitusi jelas menyebut pembahasan antara Presiden dan DPR," ujarnya.
Putusan MK secara eksplisit menyatakan fraksi tidak boleh dihadapkan dengan pemerintah. Saldi menyatakan apabila DPR ingin berhadapan dengan pemerintah membahas UU, mereka harus selesaikan pembahasan internal dengan sembilan fraksi.
"Jadi tidak akan ada lagi kita lihat DIM (daftar inventarisasi masalah) fraksi ketika pembahasan UU antara DPR - pemerintah," katanya.