REPUBLIKA.CO.ID, Memasuki pertengahan abad ke-19, Tajikistan terbelah. Bagian utara berada di bawah kekuasaan Rusia Tsarist dan bagian selatan dikendalikan penguasa Bukhara. Pada 1921 Tajikistan resmi berada di ba wah naungan merahnya negeri komunis Uni Soviet.
Meski di bawah pimpinan komunis, pergerakan Islam tak pernah benar-benar berhenti. Pengaruh Islam di masyarakat sempat menguat pada era 1970-an. Tak lagi bisa tahan di bawah tekanan komunis, tokoh-tokoh Islam dan tokoh pro demokrasi melakukan perlawanan memasuki awal tahun 1990.
Upaya ini berbuah keruntuhan Uni Soviet pada 1991 meski Islam harus men jadi oposisi karena tokoh pro komunis Emomali Rahmon menjadi orang nomor satu di Tajikistan pada November 1992.
Negeri berpenduduk 7,1 juta jiwa pada 2012 ini memiliki 3.980 masjid yang tersebar di seluruh wilayahnya. Dari ribuan masjid, hanya sedikit yang menyediakan tempat shalat untuk wanita.
Maka tak mengherankan jika pada 2005 Majelis Ulama Tajikistan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wanita meng ikuti shalat lima waktu di masjid-masjid. Meski demikian, kaum perempuan Tajikis tan memilih tetap shalat di rumah.
Dalam makalahnya "Islam and Communism: Tajikistan in Transition", Iraj Bashiri mengungkapkan masyarakat Tajikistan lebih terikat dengan kultur budaya setem pat dibanding kebijakan pemerintah pusat.
Saat ini, ada empat tarekat besar yang dikenal di Tajikistan, yakni Naqsh bandiyah, Kubrawiyah, Qadiriyah, dan Yasa wiyah, serta sebuah tarekat Ismai liiyah (syiah) yang diikuti sekitar tiga per sen penduduk Tajikistan. Di bawah komunis, pergerakan Islam tak pernah benar- benar berhenti, bahkan menguat pada era `70-an.