Selasa 01 Oct 2019 16:30 WIB

Bangkitnya Islam di Tajikistan

Dahulu, penguasa Soviet melarang umat Islam di Tajikistan beribadah.

Rep: Islam Digest Republika/ Red: Agung Sasongko
Muslim Tajikistan
Foto: zimbio.com
Muslim Tajikistan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinginnya udara yang menyelimuti kota Dushanbe, Tajikistan tak mampu menyurutkan kegembiraan sekelompok warga yang tengah berkerumun di bandara udara Dushanbe. Keriuhan dan canda-tawa menunjukan betapa sangat berbahagianya mereka. Betapa tidak. Tak lama lagi, sanak-saudara mereka bakal segera kembali dari Tanah Suci, Makkah.

Seperti halnya umat Islam di Tanah Air, kaum Muslim di negara yang terletak di Asia Tengah itu juga menunaikan Ibadah Haji ke Makkah. Tahun 2008, umat Islam dari Republik Tajikistan  negara sempalan Uni Soviet yang berbatasan dengan Afghanistan, RRC, Kirgizstan, dan Uzbekistan itu mengirimkan sebanyak 5.200 jamaah haji.

Sebuah jumlah yang sangat besar, jika dibandingkan jumlah jamaah haji delapan tahun silam. Menurut otoritas keagamaan Tajikistan, jumlah jamaah haji tahun 2008 melonjak 10 kali lipat dibanding tahun 2000. Inilah salah satu pertanda, bangkitnya kembali agama Allah SWT di negeri yang mayoritas beretnis Tajik itu.

Berseminya kembali ajaran Islam ditandai dengan tampilnya pemuka agama sebagai sosok penting di tengah masyarakat. Partai politik Islam pun tak lagi dilarang. Sebuah kondisi yang sungguh jauh berbeda, ketika negeri itu berada dalam kungkungan Uni Soviet. Ketika Soviet masih jaya, masyarakat Muslim di negeri itu nyaris tak bisa menunaikan ibadah dengan baik.

Saat itu, penguasa Soviet melarang umat Islam di Tajikistan beribadah. Umat Islam yang ketahuan menunaikan ibadah shalat atau ibadah haji pasti akan dijatuhi hukuman berat. Di awal tahun 1960-an, Rezim Khrushchev menggulirkan propaganda anti-Islam. Bahkan, pada era 1970-an hingga 1980-an, pemimpin Kremlin secara terang-terangan menyatakan perang terhadap agama, termasuk Islam.

Larangan itu tak menyurutkan Muslim Tajik untuk beribadah, meski harus secara sembunyi-sembunyi. Salah seorang pria Tajik yang sudah udzur menceritakan, sepuluh tahun silam menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci begitu sulit. Untuk sampai ke Makkah, ia mengaku harus menempuh jalur darat dengan bus menuju Irak. "Sebelum George Bush menghancurkan kota itu."

Jangankan untuk naik haji, untuk shalat pun warga Muslim Tajikistan tak bisa sembarangan. Seorang pria bernama Akbar masih mengenang betapa sulitnya menunaikan shalat di masa kekuasaan Soviet.

Saat berusia 30 tahun, Akbar sempat tertangkap basah sedang shalat oleh tentara Soviet. Ia pun langsung melarikan diri. ''Semua orang melihat saya,'' kata Akbar. ''Rasanya saya seperti seorang kriminal.''Kebangkitan Islam mulai bergulir pada tahun 1991, setelah rakyat Negeri Tajik meraih kemerdekaan. Sayangnya, harapan untuk bisa merasakan kebebasan menjalankan ibadah sempat terhambat perang saudara. Sejak 2006, negara yang menganut paham sekuler itu mulai diperbolehkan sekolah-sekolah mengajarkan mata pelajaran sejarah Islam.

Salah seorang warga kota Dushanbe, Marhabo (25 tahun) dengan penuh gembira berujar, "Kami adalah Muslim. Sekarang tak ada lagi pembatasan (menjalankan ibadah -red). Dulu di kota ini tak boleh ada Masjid. Sekarang, masjid sudah banyak." Mayoritas penduduk Tajikistan adalah penganut agama Islam. Sekitar 85 persen dari 6 juta penduduk negeri itu adalah Muslim Sunni.

Orang-orang Tajik pun, sekarang sudah berani memberi nama anak-anak mereka dengan nama-nama Islami. Kebangkitan Islam di wilayah Tajikistan belum diiringi dengan geliat perekonomian. Menurut Prof Khojamakhmad Umarov, seorang guru besar pada Institute of Economic Studies, pendapatan separuh populasi negara itu per harinya masih kurang dari dua dolar AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement