Senin 02 Jun 2014 08:23 WIB

Muslim Wamena Tanpa NU dan Muhammadiyah

Aktivis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) bersama Muslim di Perkampungan Walesi, Jayawijaya, Papua
Foto: Republika/A.Syalaby Ichsan
Aktivis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) bersama Muslim di Perkampungan Walesi, Jayawijaya, Papua

REPUBLIKA.ID, Suara azan Jumat terdengar merdu dari Masjid Baiturrahman, Wamena, Jayawijaya. Suara itu sahut menyahut dengan muazin dari dua masjid lain di kota yang sama. Siang itu,  umat Islam berbondong-bondong memenuhi tempat suci untuk menunaikan ibadah Shalat Jumat.

Satu persatu Muslim dari beragam etnis memenuhi saf. Jawa, melayu, bugis, ternate hingga orang asli papua  tampak rapi membentuk barisan. Mereka menanti sang khatib menyampaikan khotbah dan memimpin shalat wajib berjamaah.

Di Wamena, ada tiga masjid besar yang berdiri. Selain Baiturrahman, ada Masjid Alikhsan dan Masjid Nurul Hidayah. Hanya, tidak ada satu pun masjid yang mendeklarasikan diri sebagai bagian dari salah satu organisasi Islam seperti di daerah lain. Tidak juga menjadi bagian dari ormas terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

"Kalau dari cerita orang-orang dulu, mereka memang sengaja tidak menampakkan golongannya masing-masing karena minoritas,"ujar tokoh masyarakat setempat, Agus Sudarmaji saat berbincang dengan Republika, pekan lalu.

Saat merayakan hari besar keagamaan, umat Islam pun selalu bersama. Sejak saat memulai waktu puasa hingga merayakan Idul Fitri. Agus menjelaskan, Muslim Wamena akan memulai waktu puasa sesuai arahan pemerintah pusat. Untuk Shalat Ied, mereka akan berjamaah di lapangan besar dekat Masjid Baiturrahman. Sementara, jamaah dari dua masjid lainnya akan bergabung di lapangan yang sama.

Agus mengungkapkan, persatuan umat Islam di Wamena sungguh terasa. Sebagai sesama pendatang, mereka merasa senasib sepenanggungan. Sekat mazhab apalagi ormas pun sudah hilang dengan sendirinya. Dengan Islam yang tak terkotak-kotak, ujarnya, umat Islam bisa lebih mudah mengenalkan ajaran Islam ke suku asli Papua.

Sejak tahun 70-an, perkampungan Muslim di pedalaman pun berkembang. Saat ini, ada sekitar tujuh perkampungan yang sudah memiliki puluhan hingga ratusan Muslim. Mereka tersebar di Walesi, Megapura, Air Garam, Kimbim, hingga Hitigima. 

Perlahan,  Muslim menjadi mayoritas di kota ini. Beragam profesi digeluti seperti berdagang, polisi, tentara hingga guru. Hanya, populasi umat Islam memang menjadi minoritas jika dibandingkan dengan keseluruhan warga Lembah Baliem. "Populasi umat Islam ada sekitar 7.000 orang,"ujar Agus yang juga merupakan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Wamena.

Hubungan umat Islam dengan warga asli dan umat Kristen yang menjadi mayoritas di Jayawijaya pun rukun. Setiap bulan, mereka pun bertemu dalam wadah forum kerukunan umat beragama.

Agus mengaku, memang ada rumor dan provokasi untuk memecah belah antar pendatang dan warga asli, juga antar umat Islam dan Kristen. Dia mencontohkan, adanya larangan menggunakan pengeras suara saat azan Zuhur di hari Minggu dari Pemkab setempat sempat dipermasalahkan umat Islam.

Agus menjelaskan, hal tersebut sebenarnya wajar. Dia pun menerima aturan tersebut dengan alasan menghormati umat Kristen yang sedang beribadah. Terlebih, banyak gereja yang berdiri di sekitar masjid. "Ya kita sebagai minoritas tahu diri. Masa orang Kristen sedang ibadah, kita azan keras-keras,"ujarnya.

Percikan konflik kerap terjadi dengan beberapa oknum warga asli yang turum ke kota. Agus mengungkapkan, warga pendatang harus berhati-hati jika berinteraksi dengan mereka. Terlebih, adanya hukum adat berupa denda yang bisa diklaim sepihak oleh warga asli. "Ada kesan dikomersialisasi".

Di Wamena, ekonomi Muslim bisa bergeliat. Buktinya, masjid-masjid di Kota Wamena tergolong makmur. Lihat saja saldo kas masjid yang diumumkan menjelang Shalat Jumat. Pengurus Masjid Baiturrahman melaporkan, saldo hingga 30 Mei 2014 tercatat berkisar Rp 4,3 miliar. Sedangkan di Masjid Nurul Hidayah berkisar Rp 400 jutaan. 

Pengurus masjid, Teguh Priyantoro mengungkapkan, setiap Jumat, uang infak yang terkumpul di Baiturrahman rata-rata mencapai Rp 10 juta. Hanya, masjid yang diresmikan oleh almarhum mantan presiden Soeharto ini baru saja kelimpahan infak dari seorang dermawan. "Dia menjual tanah dan diwakafkan untuk kita. Jumlahnya sekitar Rp 3 miliar,"jelasnya.

Selain untuk biaya operasional masjid, kas tersebut pun digunakan untuk membiayai pembangunan masjid dan mushola di daerah pedalaman. Untuk uang infak di Masjid Nurul Hidayah, misalnya. Sebagian digunakan untuk merenovasi Masjid Alaqsha di perkampungan Muslim di Walesi, yang ada di lereng pegunungan tengah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement