Jumat 13 Jun 2014 18:50 WIB

Tutup Dolly, Wali Kota Surabaya tak Langgar HAM

Suasana lokalisasi Dolly
Foto: Antara
Suasana lokalisasi Dolly

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjamin tidak ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat pelaksanaan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak pada 18 Juni mendatang. "Kami ingin agar mereka bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tidak hanya untuk mereka, tapi juga anak-anak mereka. Saya pastikan tidak ada pelanggaran HAM," kata Risma saat menerima kunjungan dari warga yang sepakat penutupan Dolly di Balai Kota Surabya, Jumat (13/6).

Menurut dia, setelah penutupan, baik pekerja seks komersial (PSK), mucikari dan warga terdampak nasibnya tetap akan diperhatikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Sebaliknya, lanjut dia, pemkot ingin agar warga setempat, khususnya anak-anak bisa mendapat masa depan yang lebih baik. Pemkot juga tidak menutup lokalisasi begitu saja.

Warga, PSK dan mucikari juga diberi pelatihan keterampilan agar mereka bisa hidup dengan keterampilan tersebut. Bahkan, pemkot siap memberi modal usaha bagi para korban penutupan ini. Risma menegaskan yang memotivasi dirinya menutup lokalisasi adalah soal masa depan anak-anak. Seringkali dia inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah tempat hiburan, banyak sekali ditemukan anak di bawah umur menjadi korban perdagangan orang.

Praktik seperti ini tidak menutup kemungkinan juga terjadi di Dolly. "Jika setelah Dolly ditutup ada warga yang bilang tidak punya pekerjaan, silakan ngomong ke saya, akan saya bantu. Sekarang sudah ada orang di Dolly yang sudah bekerja di Linmas (Perlindungan Masyarakat) dan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja)," katanya.

 

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Supomo menambahkan, saat ini Pemkot Surabaya sudah menyiapkan dana segar sebesar Rp16 miliar untuk merehabilitasi lokalisasi Dolly. Dana tersebut, kata dia, untuk memberi modal usaha dan keterampilan warga.

Bahkan, pemkot siap membeli sejumlah wisma di Dolly. Wisma tersebut nantinya akan diubah fungsinya menjadi lembaga pendidikan, tempat berjualan barang dagangan dan juga balai Rukun Warga (RW). "Kami jamin, tidak ada satupun pelanggaran HAM dalam penutupan ini. Justru kami ingin lindungi hak-hak warga untuk dapat hidup lebih nyaman dan lebih baik," katanya.

Salah satu warga Kelurahan Putat Jaya, Anton mengaku sangat mendukung rencana pemkot menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Sebab, keberadaannya sudah mengganggu kenyamanan hidup.

Dia mencontohkan, tidak ada satupun teman perempuan adiknya yang berani datang ke rumahnya. Mereka takut diganggu oleh orang Dolly sehingga, seringkali ketika hendak ke rumah, harus dijemput. "Selain itu, ketika melamar pekerjaan, kalau diketahui sebagai orang dari Dolly, sulit diterima kerja. Ini karena ada anggapan buruk," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement