REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Saham Asia merosot pada perdagangan Senin (16/5) karena investor khawatir pemberontakan di Irak bisa memengaruhi, bahkan memperburuk ekspor minyak. Pemberontakan Sunni yang merebut kota etnis Turkmen dibarat laut Irak pada Ahad (15/6) kemarin menjadi penyebab utamanya.
Amerika Serikat (AS) pun telah meningkatkan keamanan bagi staf dan diplomat-diplomat mereka di Baghdad. Beberapa dari mereka bahkan sudah dievakuasi ke kedutaan.
Pada perdagangan bursa saham AS, Wall Street, Jumat (14/6) lalu, berakhir dengan kerugian moderat selama sepekan. Sementara indeks MSCI di Asia Pasifik dibuka rendah diawal perdagangan. Nikkei Jepang N225 merosot 0,4 persen karena yen merangkak naik. Ini dipicu meningkatkan risk aversion dari investor sehingga mereka mencari safe haven.
Investor kini akan fokus pada sikap Federal Reserves AS pekan ini. Mereka akan mengadakan pertemuan pada Rabu (18/6) mendatang. Pasar akan merespon sinyal apapun saat Bank Sentral AS kemungkinan mulai menaikkan suku bungan.
"Kami berharap the Fed melanjutkan pembelian aset lebih lanjut hingga 10 miliar dolar AS per bulan. Kami juga memperkirakan pertumbuhan pengangguran akan direvisi lebih rendah, sementara inflasi kemungkinan akan direvisi lebih tinggi," ujar salah satu analis strategis Barclays seperti dilansir Reuters, Senin (16/6).
Fokus lain pekan ini adalah laporan terbaru Cina tentang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang akan diumumkan Selasa (17/6), disusul angka perumahan pada Rabu (18/6). Investor mengkhawatirkan perlambatan pertumbuhan harga properti di Cina yang memunculkan pertanyaan tentang prospek sektor tersebut.