REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendy Yusuf, menyatakan warga nahdliyin mendukung penutupan area lokalisasi Dolly. Dukungan ini disertai dengan harapan adanya kompensasi dan pelatihan yang diberikan bagi pihak-pihak yang terkena imbas penutupan.
''Opsi yang diberikan sudah bagus, itu nanti terserah pilihan masing-masing. Yang penting jangan kembali pada dunia hitam.
Effendy menilai adanya rumah pelacuran memiliki efek yang luas terhadap kehidupan masyarakat. Dia menceritakan adanya radio yang memberitakan penolakan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Dolly. Walau diberikan pelatihan, para PSK tidak mau Dolly ditutup karena penghasilan mereka menurun.
Effendy mengatakan, dalam sebulan seorang PSK dapat memperoleh penghasilan sebesar Rp 10 juta, sedangkan dengan menjadi penjahit atau pekerjaan yang disarankan, penghasilan mereka tidak akan mencapai angka tersebut.
''Artinya yang dirusak kan sudah mentalnya,'' katanya kepada Republika, Rabu (18/6).
Effendy juga tidak setuju dengan adanya penghalusan istilah seperti sebuah Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk memperhalus istilah pelacur, dan warga harapan bagi masyarakat Dolly. ''Kalau pelacur ya sebut saja pelacur.''
Mengenai kekhawatiran akan adanya penyebaran PSK paska penutupan lokalisasi Dolly, Effendy mengatakan hal itu bersifat hipotetis saja. Artinya kekhawatiran ini belum tentu benar. Ia mencontohkan salah satu upaya penutupan lokalisasi yang dinilai cukup berhasil, yaitu di Kramat Tunggak, Jakarta.
''Kita mengetahui pelacuran memang tidak dapat diberantas sampai titik nol, tapi jangan dikonsentrasikan juga dalam wilayah yang sangat besar,'' kata dia.