REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regulator mendorong perusahaan milik negara (BUMN) untuk mengimplementasikan kebijakan hedging dalam bisninya. Lindung nilai diharapkan dapat memitigasi kerugian perseroan akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
Ketua Tim Force Pendalaman Pasar Uang Bank Indonesia (BI) Tresna W Suparyono mengatakan, penerapan hedging lebih menguntungkan perusahaan di tengah volatilitas nilai tukar yang cenderung melemah. "Melalui hedging terdapat kepastian pemeliharaan dolar AS," kata Tresna di Jakarta, Kamis (19/6).
Volatilitas nilai tukar rupiah merupakan yang terbesar di negara kawasan. Volatilitas rupiah mencapai 10,5 persen. Sehingga, risiko ini cukup tinggi bagi perusahaan. Jika volatilitas tinggi, maka terdapat ketidakpastian nilai tukar ke depan. Di sinilah perlunya melakukan hedging.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa dijadikan contoh. Pada 2012, PLN membukukan keuntungan usaha sebesar Rp 3,2 triliun. Namun tahun lalu, PLN merugi Rp 2,95 triliun. Kerugian disebabkan oleh rugi kurs.
Tresna mengatakan, ada beberapa upaya hedging yang dilakukan, yaitu transaksi swap, transaksi forward dan option. Ketiga inilah yang diperbolehkan secara aturan di Indonesia. Contohnya, sebuah perusahaan memerlukan sejumlah dolar AS selama sebulan. Perusahaan tersebut bisa melakukan transaksi forward dengan Rp 11.500 per dolar AS. Dengan melakukan hedging, perusahaan tersebut akan mendapatkan harga yang tetap untuk setiap transaksi dolar AS meskipun harga fluktuatif di pasar uang.
Namun, ada risiko yang harus dihadapi perusahaan dalam pelaksanaan hedging. Jika dalam satu bulan perusahaan tersebut membeli dolar AS senilai Rp 11.500 sedangkan harga di pasar uang lebih dari nilai itu, maka perusahaan tersebut dikatakan untung. Sebaliknya, jika tiba-tiba nilai tukar rupiah menjadi misalnya Rp 11 ribu, perusahaan yang hedging merugi. "Ini biaya yang dipakai untuk kepastian nilai tukar oleh perusahaan," kata Tresna.
Hal inilah yang menjadi penghambat bagi perusahaan dalam melakukan hedging. Perusahaan, terutama BUMN, tidak mau mengambil risiko ini. Pasalnya, jika perusahaan tersebut merugi, ini akan dimasukkan dalam kerugian negara.
Kebanyakan perusahaan lebih memilih natural hedging. Salah satunya adalah PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Sekretaris Perusahaan WIKA Natal Argawan mengatakan, perseroan tidak perlu hedging di pasar karena di samping memiliki utang valas, WIKA juga memiliki penghasilan valas. "Jadi kami tidak perlu hedging, tapi cukup mengatur cashflow," ujar Natal.
Indonesia merupakan negara yang paling sedikit transaksi valasnya. Per hari, transaksi di pasar valas hanya 5 miliar dolar AS. Singapura saja sudah 300 miliar dolar AS, kata Tresna. Dari 5 miliar dolar AS, 70 persen dilakukan di pasar spot atau pembelian langsung. Sisanya dalam bentuk swap dan forward.