REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Seorang lelaki setengah baya berjenggot tipis duduk di tengah kerumunan orang. Dia memakai jaket tebal dan berbulu berwarna putih. Tidak hanya itu, karena hawa dingin masih menggigit tubuh, dia menambah dua kaos tipis di bagian dalam. Peci putih kusut kain juga menghias di kepalanya. Sesekali, terlihat badanya menggigil menahan tusukan hawa dingin.
Sejumlah orang di sekelilingnya juga memakai jaket. Hanya bedanya, mereka mengenakan sarung yang diselempangkan di badan. Khas orang gunung. Maklum, di dusun Puncak, Desa Argosari, Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jatim, ketinggiannya sekitar 2.000 meter dari permukaan laut. Tak cukup hanya mengenakan satu helai baju untuk mengusir dingin.
Lelaki tersebut adalah Ali Farqu Thoha. Da’i yang telah 20 tahun lebih berdakwah di kampung mualaf Senduro. Pria kelahiran Lumajang 28 Desember 1958 ini pandai berceramah. Isi ceramahnya ringan tapi mengena. Sesekali diselelingi humor cerdas yang mengundang gelak tawa jamaah. Tak jarang, jika tidak sedikit mualaf tertawa lebar.
Di sela-sela ceramahnya, sesekali Ali—sapaan akrabnya—bertanya seputar kondisi ibadah para mualaf: “Gimana shalat lima waktu kalian. Tidak pernah bolong-bolong, lagi kan ?” “Insya Allah, jalan terus pak ustadz meski sering telat,” jawab Sukari, salah seorang jamaah. Ali pun bernafas lega. Berarti, usaha kerasnya selama ini membuahkan hasil meski belum begitu signifikan.
Kegiatan itu secara rutin dilakukan Ali. Terkadang sepekan sekali. Atau juga bisa lebih. Tergantung kebutuhan dan undangan mualaf. “Jika mualaf membutuhkan, mau tidak mau, saya harus datang,” ujar ayah dua anak ini. Selain untuk ceramah, terkadang Ali diundang untuk menangani masalah sepele; urusan keluarga, cocok tanam, cekcok sesama warga dan sebagainya. Bagi masyarakat, Ali dianggap seperti keluarga. Tak ada sekat lagi. Masalah apapun diadukan padanya. Masalah kecil atau besar sedikit-sedikit memanggil Ali.