REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun mengatakan permintaan banding Akil Mochtar terhadap vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bisa menjadi peluang bagi jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Permintaan banding itu bisa menjadi peluang karena ada tuntutan jaksa yang tidak dikabulkan majelis hakim. Vonis banding nanti, bisa saja tuntutan itu dikabulkan majelis hakim," kata Tama Satya Langkun dihubungi di Jakarta, Selasa.
Jaksa KPK menuntut Akil dengan pidana penjara seumur hidup serta denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih. Namun, majelis hakim tipikor hanya memvonis Akil dengan pidana penjara seumur hidup.
Tama mengatakan dengan terpenuhi seluruh tuntutan penjara terhadap Akil, peluang jaksa untuk mengajukan banding relatif kecil. Umumnya, jaksa mengajukan banding bila vonis tak sampai tiga perempat dari tuntutan.
"Dengan Akil menyatakan banding, justru tuntutan denda dan pencabutan hak politik itu bisa dikabulkan hakim. Saya justru melihat ini peluang bagi jaksa KPK. Sebab, hal itu pernah terjadi pada kasus Angelina Sondakh," tuturnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan ketua MK Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pilkada dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suwidya Jakarta, Senin (30/6).
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa pemberian denda dan hukuman tambahan. Sebelumnya, jaksa meminta Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada lembaga MK," kata Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil. "Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tuturnya.
Dalam pertimbangnya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat. "Setelah majelis bermusyararah, majelis sependapat dengan dakwaan tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relevan lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda itu," kata Suwidya.
[removed][removed] [removed][removed]