Selasa 08 Jul 2014 12:48 WIB

Newmont Lanjutkan Dialog Sambil Gugat ke Arbitrase

PT. Newmont Nusa Tenggara
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
PT. Newmont Nusa Tenggara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menegaskan siap melanjutkan dialog dengan pemerintah RI untuk mencapai penyelesaian secara musyawarah atas ketidaksepahaman soal proses perundingan terkait Undang-Undang Mineral dan batubara (Minerba) di luar proses formal arbitrase.

"Kalau kita dipanggil (pemerintah) alhamdulillah. Kami percaya bahwa negosiasi(perundingan,red) langsung dengan pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan cepat dan dapat meninggalkan pilihan arbitrase," kata Direktur Utama PT NNT, Martiono Hadianto di Jakarta, Senin.

Martiono mengatakan selama enam bulan terakhir PT NNT berupaya menyelesaikan isu ekspor dan mendukung program pemerintah dalam soal melakukan pemurnian di dalam negeri.

Newmont berharap dapat melanjutkan proses perundingan tersebut dengan itikad baik agar bisa memulai kembali operasi tambang di Batu Hijau dengan mempertimbangkan sisi ekonomis serta nasib sekitar 8.000 karyawan.

Menurut dia, kunci untuk memulai kembali operasi bergantung pada dua poin yang keduanya telah mencapai kemajuan, yaitu soal uang jaminan partisipasi sebesar 25 juta dolar AS untuk pendirian smelter baru serta pengenaan bea keluar (BK) bagi ekspor konsentrat tembaga.

"Kami setuju untuk menyediakan uang jaminan tersebut dan kami terbuka untuk mempertimbangkan kerangka bea keluar yang ekonomis, yang memungkinkan PTNNT mendapatkan izin ekspor," katanya.

Arbitrase

Mengenai keputusan menggugat pemerintah ke arbitrase, Martiono mengatakan bahwa sebenarnya PT NNT telah berupaya menunda pengajuan permohonan arbitrase selama mungkin, tetapi kesepakatan yang diharapkan belum juga tercapai. Sementara operasi PTNNT telah tutup dan sebagian besar karyawan telah dikirim pulang ke rumah selama lebih dari satu bulan.

"Kami merasa memiliki tanggung jawab mengajukan permohonan arbitrase internasional untuk menyelesaikan masalah ini," ujarnya.

Martiono mengatakan yang menjadi prioritas pihaknya sekarang adalah menjaga keberlangsungan jangka panjang dan nilai dari aset tambang Batu Hijau bagi rakyat Indonesia.

Dijelaskannya, dalam periode 2000-2013 total pendapatan peusahaan mencapai 13,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp153 triliun.

Kontribusi bagi perekonomian nasional mencapai 8,8 miliar dolar atau 67,2 persen dari pendapatan perusahaan, baik dalam bentuk pajak, nonpajak, royalti, gaji, pembelanjaan lokal serta dividen kepada pemegang saham nasional.

Sementara pihak luar negeri, menurut dia, hanya mendapatkan 4,3 miliar dolar atau 32,8 persen saja dari total pendapatan perusahaan. Mengutip kajian Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen UI pada 2013, Martiono menyebutkan bahwa data tersebut mencerminkan hampir 95 persen ekonomi lokal Kabupaten Sumbawa Barat, lokasi tambang Batu Hijau.

Pada awal Juli ini, PT NNT dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor konsentrat mineral yang diterapkan pemerintah.

Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali.

Arbitrase adalah praktek standar yang juga diakui serta diterima oleh dunia internasional untuk menyelesaikan perselisihan antara pemerintah dan perusahaan swasta melalui arbiter pihak ketiga yang independen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement