REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dinilai untuk menahan laju PDI Perjuangan sebagi partai pemenang pemilu. Khususny tentang perubahan pasal 82 tentang tata cara pemilihan pimpinan DPR.
"Partai yang kalah di pemilu, khususnya yang tidak berkoalisi dengan PDIP seperti sedang melakukan manuver untuk menahan laju PDIP sebagi ketua DPR," ujar pengamat hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf saat dihubungi Republika, Jumat (11/7).
Ia menjelaskan, ada dua alasan utama terkait revisi UU MD3. Pertama, anggota parlemen yang mengusulkan revisi tersebut berpendapat bahwa semua orang berhak untuk memperoleh posisi sebagai ketua.
Walau pun bukan dari partai pemenang pemilu. Bukan hanya posisi Ketua DPR, tetapi juga posisi pimpinan untuk badan atau komisi yang ada di DPR.
"Alasan pertama ini lebih mengarah kepada alasan demokratis. Bahwa semua orang memiki hak dan kesempatan yang sama," ujarnya.
Kedua, lanjutnya, revisi UU MD3 tak lepas dari maksud dan tujuan politik dari beberapa pihak. "Ada yang sengaja menghadang agar orang dari PDIP tidak terpilih sebagai ketua DPR. Ini alasan dan motif secara politis, khususnya dari anggota yang berasal dari partai yang berseberangan dengan PDIP," katanya.
Ia menambahkan, pimpinan DPR seharusnya berasal dari partai pemenang pemilu. Karena proses suatu partai untuk memperoleh kekuasaan bukan hanya pada saat proses pemilu saja. Tetapi juga pada saat berada di parlemen.