Ahad 13 Jul 2014 21:49 WIB

Dunia Penyiaran Dinilai Karut Marut

Rep: C54/ Red: Erik Purnama Putra
Warga menyaksikan tayangan film dokumenter tentang sejarah Islam di Jakarta, Senin (24/2).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Warga menyaksikan tayangan film dokumenter tentang sejarah Islam di Jakarta, Senin (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP) akan mengugat pemerintah dalam waktu dekat terkait kekacauan praktik penyiaran publik di Tanah Air. KIDP menilai, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena abai membiarkan terjadinya praktik oligarki kepemilikan televisi.

Menurut KIDP, hal tersebut bertentangan dengan UU 32/2002 tentang Penyiaran yang melarang adanya konsentrasi kepemilikan televisi. Demikian disampaikan dalam konfrensi pers, di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (13/7).

Mewakili KIDP, Koordinator Divisi Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Dhandhy Laksono memaparkan, oligarki media telah menyebabkan berbagai pelanggaran penyiaran. Dia mencontohkan, selama masa pemilu, pihaknya mendata terdapat setidaknya 59 pelanggaran yang dilakukan 11 stasiun televisi swasta.

"Kepada dua di antaranya, Metro TV dan TVOne, 27 Juni kemarin, KPI telah menerbitkan rekomendasi kepada negara, dalam hal ini Kemenkominfo, agar meninjau kembali izin siaran untuk keduanya. Kami meminta KPI menindaklanjuti rekomendasi tersebut," ujar Dhandhy.

Dandhy melanjutkan, dalam penelitian yang dilakukan KIDP, pelanggaran dilakukan stasiun televisi dalam bentuk konten siaran maupun iklan. Pada musim pemilu, menurut Dhandhy, pelanggaran banyak terjadi dalam bentuk penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan kelompok tertentu.

"Berbagai pelanggaran terjadi, baik dalam bentuk kuis, sinetron, talk show, atau pemberitaan. Disemprit yang satu, ganti yang lain, dan seterusnya," katanya.

Dia juga menyayangkan, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dinilainya lambat dalam mengambil sikap terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.  Dia mengambarkan, dalam kasus Kuis Indonesia Cerdas/Kuis Kebangsaan yang disiarkan RCTI dan GlobalTV, KPI baru menjatuhkan sanksi setelah empat bulan acara-acara tersebut terbukti melanggar.

"Ibarat rumah yang sudah terbakar, bisa kita bayangkan kerusakan yang ditimbulkannya?" ujar aktivis media tersebut.

Menurut Dhandhy, sanksi pencabutan izin siaran tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan keksiruhan soal tenaga kerja dan sebagainya. "Negara punya pengalaman dalam pengalihmilikan bank, juga dalam kasus akuisisi Lativi dan TV7, semua berjalan lancar," katanya.

Selain perwakilan AJI, hadir pula dalam agenda tersebut perwakilan lembaga yang berhimpun dalam KIDP. Lembaga-lembaga tersebut, di antaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media), Remotivi, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement