REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakhadiran petinggi Partai Demokrat dalam penandatanganan piagam kesepakatan menunjukkan keengganan Demokrat untuk masuk dalam koalisi permanen Merah Putih. Partai Demokrat dinilai tidak siap mental untuk menjadi oposisi.
"Secara psikologis, mereka tidak siap berada di luar pemerintahan," kata pakar komunikasi politik dari Universitas Diponegoro, Yulianto saat dihubungi, Selasa (15/7).
Yulianto mengatakan, Partai Demokrat masih ingin menjadi partai penyeimbang di parlemen dengan memainkan kartu truf. Suara 10 persen Demokrat memang cukup strategis dalam memainkan bandul koalisi di parlemen nantinya.
Menurutnya, partai berlambang bintang mercy itu juga masih ingin membuka peluang untuk berkomunikasi dengan Megawati dengan merapat ke Jokowi-JK. Hal itu terlihat ketika wacana internal dari dalam Partai Demokrat yang terkesan setengah hati sejak awal.
"Memang posisi yang paling aman ya seperti itu, SBY memang cerdik dalam menempatkan //positioning// partai," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon meminta kedatangan Partai Demokrat yang hanya diwakili Ketua DPD PD DKI Jakarta Nahrowi Ramli tidak dipersoalkan. Menurutnya hal itu bukan substansi dari koalisi permanen Merah Putih.
"Sekali lagi gak usah dipersoalkan yang kaya begini. Kan intinya bukan itu," katanya di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta. Fadli mengatakan, dalam pidatonya saat penandatanganan piagam kesepakatan koalisi permanen.
Apalagi, lanjutnya, Nahrowi Ramli telah menjelaskan bahwa dia utusan resmi PD. Artinya, Nahrowi Ramli mewakili PD secara institusi. Menurut dia, persoalan siapa yang datang dalam penandatanganan piagam kesepakatan adalah urusan teknis saja.