REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi, terdapat satu ketentuan yang melegalkan aborsi akibat perkosaan.Namun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan menolak aborsi akibat perkosaan.
Wakil Sekjen III Pengurus Besar IDI Prasetyo Widhi mengatakan, meskipun dalam peraturan pemerintah disebutkan aborsi akibat perkosaan dilegalkan dengan syarat kehamilan tersebut belum 40 hari, IDI tidak akan menggunakan pasal tersebut. "Dalam melaksanakan tugasnya para dokter dalam IDI hanya akan melakukan aborsi jika kehamilan membahayakan jiwa ibu dan janin itu sendiri, jadi IDI hanya berpegang teguh pada soal medis," katanya di Jakarta, Jumat, (15/8).
Memang, ujar Prasetyo, kalau kehamilan masih belum berusia 40, artinya kehamilan itu belum menjadi janin. Namun sikap IDI dalam soal aborsi sangat ketat, aborsi hanya berdasarkan indikasi medis, tidak berdasarkan indikasi yang lain, seperti misalnya kehamilan akibat perkosaan.
"Kami tidak akan melakukan aborsi hanya karena kehamilan seseorang disebabkan oleh perkosaan. Sebab hasil perkosaan itu bukan domain dokter tapi itu sudah masuk ke dalam persoalan hukum," kata Prasetyo.
Kalau aborsi dilakukan karena indikasi medis yakni kehamilan membahayakan ibu dan janin, ujar Prasetyo, aborsi juga tidak bisa dilakukan begitu saja. Dalam proses mengambil keputusan untuk melakukan aborsi harus melibatkan tim terminasi dari rumah sakit yang terdiri dari dokter kandungan, psikolog, psikiater, tokoh agama, juga aparat hukum.
"Jadi untuk memutuskan aborsi berdasarkan indikasi membahayakan kesehatan ibu dan janin tidak bisa dilakukan perseorangan dan serta merta. Tapi melalui tim terminasi, berbagai diskusi, dan dilakukan penuh kehati-hatian," kata Prasetyo.