REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Majelis hakim konstitusi menilai Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), Daftar Pemilih Khusus (DPK), dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) sah secara hukum. Majelis hakim pun menyebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan sebagai pedoman penyelenggaraan pemilu terkait DPTb, DPK, dan DPKTb.
"DPTb, DPK, dan DPKTb yang diatur dalam PKPU (Peraturan KPU) harus dinilai sebagai implementasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka memenuhi pelaksanaan hak kontitusi warga negara untuk memilih," kata hakim Ahmad Fadlil Sumadi, saat membacakan pertimbangan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden di Mahkamah Kontitusi (MK), Kamis (21/8).
KPU melandaskan pembuatan PKPU ini pada putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Di mana pemilih yang belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat menggunakan KTP dan Kartu Keluarga untuk memilih. Itu pun pemilih harus menggunakan haknya di TPS sesuai dengan domisili dalam identitas.
Salah satu kuasa hukum pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Didi Supriyanto mengatakan, mahkamah mempunyai pandangan yang berbeda. Karena kuasa hukum menilai ada persoalan terkait DPKTb itu.
"Kalau kita mengatakan memang DPKTb persoalan pada tataran teknis di mana KPU membuat PKPU tidak sesuai dengan undang-undang dan tidak sesuai putusan MK itu sendiri," kata dia, saat jeda sidang.
Persoalan DPKTb ini memang menjadi salah satu dalil yang kerap dipersoalkan kuasa hukum Prabowo-Hatta. Didi menilai pendapat mahkamah itu justru bertentangan dengan putusan sebelumnya. Kuasa hukum Prabowo-Hatta memang menilai ada persoalan dalam persyaratan para pemilih dalam DPKTb.
Majelis hakim sebenarnya memberikan catatan dalam pertimbangannya. Fadlil mengatakan, syarat-syarat dalam putusan MK memang tidak dinormakan secara tepat dalam PKPU. "Hal ini penting mengingat DPTb, DPK, DPKTb sebagai instrumen transisional rawan untuk disalahgunakan, baik oleh pemilih maupun peserta," ujar Fadlil.
Merujuk pada fakta persidangan, majelis hakim memang melihat adanya penyimpangan. Seperti pemilih yang menggunakan hak suaranya tidak sesuai ketentuan waktu, memilih tidak sesuai alamat, pemilih yang tidak disertai Kartu Keluarga, dan penggunaan form A5 (surat pindah memilih) yang tidak sesuai prosedur.
Namun majelis tidak melihat ada bukti yang meyakinkan penyimpangan yang terjadi karena peran KPU atau pun pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla terkait dengan adanya dugaan mobilisasi pemilih secara melanggar hukum.