REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Calon Wakil Presiden nomor urut 01, KH. Ma'ruf Amin selama bertahun-tahun telah berjuang di jalur kultural melalui ormas keislaman. Kali ini, ulama asal Banten ini ingin berjuang di jalur struktural dengan terjun ke dunia politik.
Sebagian orang mungkin beranggapan Kiai Ma'ruf baru-baru ini saja tertarik dengan politik. Namun, ternyata Ketua Umum Majelis Ulama (MUI) ini sudah lama tertarik dengan dunia pergerakan dan politik.
Kiai Ma'ruf mengatakan, awal muda dirinya tertarik dengan politik sekitar tahun 1960-1970. "Sebenarnya ketika Tahun 70-an (awal tertarik dengan politik,red), tapi sebenarnya sejak 65 itu saya pernah jadi ketua Front Pemuda, waktu itu ada PKI-nya, ada pemuda rakyat di Jakarta Utara saya jadi Ketua Front Pemuda," ujar Kiai Ma'ruf saat berbincang santai dengan awak media di sela-sela silaturrahim politiknya di Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (22/3).
Pada Pemilu 1971, Kiai Ma'ruf pun maju melalui Partai Nahdlatul Ulama (PNU) dan terpilih sebagai anggota termuda DPRD DKI Jakarta. "Saat itu saya 27 tahun. Tapi walau saya masih muda saya juga jadi Ketua Fraksi Golongan Islam, masih 28 Jadi ketua fraksi," ucap Mantan Rais Aam PBNU ini.
Saat menjadi Ketua Fraksi Golongan Islam, DKI Jakarta waktu itu dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, Kiai Ma'ruf juga dikenal sebagai aktifis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
"Saya dulu itu waktu itu partai NU. Lalu sesudah 73 itu difusi partai-partai Islam, lalu saya jadi ketua Fraksi PPP," kata Kiai Ma'ruf.
Setelah terjun di dunia politik, Kiai Ma'ruf pun akhirnya memilih untuk menjalankan tugas-tugas keulamannya. Sebab, Kiai Ma'ruf sendiri berasal dari keluarga ulama.
Selanjutnya, dia aktif menjadi pengurus MUI hingga berhasil menjadi ulama nomor satu di organisasi para ulama itu. "Saya dari keluarga ulama, ayah saya itu bahkan pondok modern saja tidak boleh, mau mondok kaya Gontor itu. Jadi yang boleh itu di Tebu Ireng, makanya saya mondoknya di Tebu Ireng," tutupnya.