REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- SETARA Institute mendesak presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan rekonsiliasi nasional.
"Kami mendesak pemerintahan Jokowi-JK menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan melakukan rekonsiliasi. Ini tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK," kata Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Rabu.
Menurut Bonar, salah satu tugas yang mendesak dari pemerintahan Jokowi-JK adalah menyusun rancangan undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau jika memang memakan waktu lama dengan membentuk Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Seluruh kasus pelanggaran HAM yang telah dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat (kejahatan serius) juga tidak ada yang diadili, seperti kasus kekerasan 1965, kasus Aceh, Papua, penculikan atau penghilangan orang, Tanjung Priok, Talangsari Lampung, Trisakti-Semanggi I dan II, kasus Munir, dan lainnya.
"Kami juga mendesak Jokowi-JK menyelesaikan kasus pelanggaran HAM bagi mereka yang jadi pendukungnya, misal Hendropriyono pada kasus Talangsari dan pembunuhan Munir, Wiranto pada pelanggaran HAM di Timor Timur karena kalau mengabaikan kasus pendukungnya, Jokowi-JK akan dituding pilih kasih hanya memilih kasus tertentu," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Dewan Nasional SETARA Institute Benny Soesetyo atau biasa dipanggil Romo Benny mengatakan rekonsiliasi bukan untuk mengungkit masa lalu melainkan untuk membangun lembaran baru sehingga terjadi peradaban suatu bangsa.
"Selama tidak ada rekonsiliasi, politik stigma akan selalu terjadi. Rekonsiliasi bukan untuk mengungkit masa lalu, tapi memandang masa depan dengan cara pelaku kejahatan HAM mengakui kesalahannya, saling memaafkan, membangun lembaran baru," jelas Benny.