REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusul adanya wacana kenaikan BBM pada masa transisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), muncul perbedaan pendapat diantara partai-partai politik yang tergabung dalam koalisi merah putih.
Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai hal tersebut tidak menunjukkan adanya perpecahan dalam koalisi.
“Itu kan memang dicari-cari bagi yang berharap koalisi ini pecah,” kata Firman kepada ROL, Ahad (31/8).
Menurut Firman, perbedaan pendapat yang terjadi dalam koalisi hanya dalam masalah aksentuasi saja. Secara prinsip, hal pokok yang dipegang oleh koalisi tersebut masih sama. Oleh karena itu, perbedaan aksentuasi dianggap sebagai hal yang wajar.
“Itu hanya beda aksentuasi aja. Koalisi merah putih kan masih sepakat untuk berada di luar pemerintahan. Kalau ada aksentuasi yang berbeda, saya kira itu adalah hal yang wajar,” ujar dia.
Sebelumnya, politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengatakan tetap konsisten dengan keputusan PKS diawal untuk menolak kenaikan harga BBM. Kebijakan ini dinilai akan menyengsarakan rakyat. Selain itu, Hidayat juga memaparkan beberapa alternatif kebijakan lain yang bisa ditempuh, seperti penghematan anggaran dan mengatasi kebocoran anggaran negara.
Di sisi lain, Partai Golongan Karya (Golkar) belum menentukan sikap terkait dengan hal ini.
Beberapa waktu lalu politikus senior Golkar, Siswono Yudo Husodo justru mengatakan bahwa kebijakan ini adalah tanggung jawab pemerintahan SBY. Ia mengatakan, SBY akan dipuji sangat berani jika berani mengambil langkah tak populer ini.