REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat asuransi syariah, Muhammad Syakir Sula, berharap Otoritas Jasa Keuangan konsisten dalam upaya pembatasan kepemilikan asing di lembaga keuangan non bank. Maksimal kepemilikan adalah sebesar 51 persen khususnya di asuransi syariah.
Namun di saat yang sama, menurut dia, asuransi syariah harus meyakinkan investor lokal bahwa industri ini adalah bisnis yang baik. Sekaligus memiliki prospek yang sangat baik
Bahkan, kata dia, asuransi syariah bisa menggandeng perbankan syariah yang belum memiliki produk asuransi. Dengan cara menggandeng perbankan syariah sebagai pemegang saham.
Asuransi syariah disebutnya bisa mendatangkan dua keuntungan untuk perbankan syariah yang telah bekerja sama. Pertama penempatan investasi dan kedua mendapatkan penghasilan dengan adanya asuransi.
Potensinya asuransi syariah menurut dia sangatlah besar. Diluar negeri saja potensinya diatas 50 persen dari total penghasilan bank itu.
Namun di Indonesia masih sangat kecil atau belum sampai 10 persen. “Sehingga ada peluang bagi perbankan syariah untuk bekerja sama dengan asuransi,” ujar dia kepada ROL, Senin (1/9).
Selain itu, perusahaan asuransi syariah disebutnya bisa mendekati perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Khususnya BUMN yang menghimpun dana asuransi seperti dari karyawan PT Taspen, PT Pertamina, PT Telkom yang nilai total dananya sampai puluhan triliun rupiah.