REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Meskipun Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya itu telah menjalani dua pertiga masa pidana, pembebasan bersyarat terpidana kasus suap Hartati Murdaya dinilai bertentangan dengan rasa keadilan.
"Pembebasan bersyarat memang hak seseorang yang telah menjalani dua pertiga dari putusan yang dijatuhkan," kata pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho, di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa permasalahan itu berbenturan dengan politik hukum negara atau pemerintah di mana ada pengecualian.
"Ini memang tergantung pada politik hukum negara atau politik hukum pemerintah," kata dia yang pernah mengikuti seleksi calon hakim agung pada 2012.
Menurut dia, politik hukum pemerintah idealnya seperti halnya politik hukum pembatasan remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Oleh karena itu, dia mengaku setuju dengan pembatasan remisi bagi pelaku tipikor meskipun melanggar hak narapidana.
Ia mengatakan jika pembatasan remisi merupakan politik hukum negara dalam rangka pemberantasan tipikor yang memberikan efek jera, pembebasan bersyarat itu bertentangan dengan rasa keadilan.
"Tapi itu khusus kasus-kasus korupsi, kalau kasus-kasus pidana umum bebas mendapatkan hak. Meskipun kasus korupsi juga punya hak, tapi ini (pembebasan bersyarat, red) bertentangan dengan rasa keadilan," jelasnya.
Terkait hal itu, dia mengatakan bahwa pemberian hak remisi maupun pembebasan bersyarat bagi pelaku tipikor harus dikecualikan kalau memang Indonesia dikatakan "darurat korupsi".
Dengan demikian, kata dia, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tipikor harus benar-benar memberikan efek jera termasuk pidananya pun dikecualikan dari pidana-pidana yang diberlakukan secara umum.