Oleh Mursalin Yasland
REPUBLIKA.CO.ID, Tidak semua penghulu dapat menikahkan pasangan dengan mudah di daerah. Jauhnya jarak antara Kantor Urusan Agama (KUA) dan permukiman masyarakat membuat para penghulu terpaksa mengeluarkan kocek sendiri demi menunaikan tugasnya sebagai penyambung tali nikah.
Masalahnya semakin pelik tatkala adanya aturan baru dari pemerintah tentang pelarangan penghulu menerima uang usai menikahkan pasangan. Herwan, salah satu dari sembilan pegawai pembantu pencatat nikah (P3N) di KUA Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, mengaku harus mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri setiap menikahkan di pelosok kampung.
Untuk 'memburu' calon pengantin ke berbagai tempat, Herwan yang juga berprofesi sebagai tukang ojek ini harus mengeluarkan biaya bensin untuk sepeda motornya. Padahal, jarak yang ditempuh lumayan jauh. Tangki bensin motor pun harus kembali kerontang saat dia kembali dari tugas.
Dia berkisah, ada pasangan calon pengantin perempuan yang wali nikahnya tidak tinggal bersama calon tersebut. Untuk menikahkan mereka, dia harus menemani calon pengantin untuk menemui orang tuanya ke daerah yang tidak ia kenal sama sekali. Dia pun harus mengeluarkan kocek tambahan sebagai biaya transportasi memburu sang wali nikah.
\"Seharusnya, pemerintah memerhatikan nasib penghulu di daerah yang bertugas di lapangan untuk menikahkan seseorang,\" kata Herwan kepada //Republika// di Bandar Lampung, Selasa (9/9).
Herwan pun enggan menerima uang pengganti dari calon pengantin karena takut terseret kasus gratifikasi. Maklum saja, ada beberapa koleganya dari daerah lain yang masuk bui karena menerima uang usai menikahkan pengantin.
Padahal, status Herwan cuma sebagai pegawai pembantu pencatat nikah (P3N) hanya pegawai kontrak yang gajinya pas-pasan. Herwan yang sudah bertugas lebih dari 10 tahun ini pun cuma mendiami rumah berukuran tipe 21 di Perum Beringin Raya, Kemiling, Bandar Lampung. Dia pun harus menambah pendapatan dengan mengojek anak sekolah untuk menjaga dapurnya bisa tetap mengepul.
Dia pun membantah adanya sorotan jika biaya nikah tinggi sebelum keluar beleid baru. Menurut dia, hal tersebut cuma terjadi bagi penghulu yang tinggal di kota besar. Dia mengungkapkan, penghulu bahkan harus menanggung biaya surat-menyurat nikah bagi pasangan yang tidak mampu. Herwan menjelaskan, adanya temuan besarnya pendapatan penghulu saat PP 51/2000 berlaku, tidaklah bisa disamaratakan dengan penghulu yang tinggal di tempat lain.
Pemerintah sebenarnya sudah menyiasati kasus 'simalakama' penghulu macam Herwan. Lewat PP 48/2014 dan PMA 24/2014, pemerintah mewajibkan calon pengantin yang ingin menikah di luar KUA untuk menyetor uang Rp 600 ribu ke rekening pengganti pemerintah. Sedangkan, mereka yang menikah di KUA tak dikenakan biaya sepeser pun.
Rencananya, setoran yang tercatat sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Agama (Kemenag) tersebut menjadi sumber dana untuk honor penghulu. Lewat dana itu, penghulu akan mendapatkan tunjangan jasa profesi dan transportasi. Besarnya bergantung pada tipologi KUA di mana penghulu bekerja.
Celakanya, belum ada payung hukum untuk pencairan dana penghulu. Padahal, tarif nikah di luar KUA sudah berlangsung sejak awal Agustus. Jadilah penghulu seperti Herwan harus gigit jari.