Rabu 10 Sep 2014 15:54 WIB

'Untung Ada BPJS'

BPJS
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
BPJS

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Mansyur Faqih (Wartawan Republika)

"Astagfirullah," ujar Komar (44 tahun) singkat.

Sekejap, wajah Komar memucat. Daftar biaya melahirkan yang terpampang di atas meja resepsionis saat ia baru tiba di RS Bunda Dalima, BSD, Serpong, seakan memukulnya di bagian perut.

Namun, erangan sang istri yang sudah memasuki waktu melahirkan, memecahkan kepanikannya. Ia pun bergegas mengantar pasangan hidupnya dan mengurus persalinan anak kedua mereka.

Awalnya, Komar berharap agar istrinya dapat melahirkan dengan normal. Masalah biaya menjadi pertimbangan utamanya. Penghasilannya dari tempat cuci motor kecil di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten memang tak banyak.

Bahkan, bisa dipastikan tak akan cukup untuk membayar biaya melahirkan caesar yang berkisar hingga belasan juta rupiah. 

Selepas mengantar istri ke ruang periksa, Komar terngiang kembali ucapan dokter di Puskesmas Jombang, Tangerang Selatan. Ketika itu, dokter tersebut mengatakan, sang istri tak bisa melahirkan secara normal. 

Alasannya, karena tekanan darah yang tinggi dan minus matanya yang terlalu besar. Karena itu, ia harus segera dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap yang memiliki fasilitas bedah caesar.  

"Saya gak tenang selama proses kelahiran. Mikirin bayi, mikirin istri, mikirin biaya juga. Karena saya lihat, biaya caesar di rumah sakit itu sekitar Rp 17-an juta," ungkapnya kepada Republika, Rabu (10/9).

Beberapa hari kemudian, istri Komar dan sang bayi sudah diperkenankan untuk pulang. Ia menyatakan sempat khawatir ketika menghampiri kasir untuk mengurus administrasi.

"Biaya persalinan gratis ya, pak. Di-cover BPJS. Tapi bapak harus bayar susu, pampers, dan pakaian bayi. Karena itu tak masuk BPJS," ujar Komar menirukan ucapan si kasir.

Komar sumringah. Lekas ia mengeluarkan uang sekitar Rp 200 ribu untuk melunas pembayaran tersebut.

"Saya kaget pas ternyata cuma kena bayar sekitar Rp 200-an ribu. Makanya setelah bayar, saya buru-buru keluar dari rumah sakit. Takut rumah sakitnya berubah pikiran," ujarnya sambil tertawa mengenang kejadian pada medio Mei lalu tersebut.

Komar mengaku bersyukur karena telah memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak awal tahun ini. Puteranya yang baru lahir pun langsung didaftarkan untuk menjadi peserta BPJS. 

"Untung ada BPJS. Kalau nggak, ga tau deh saya harus bagaimana membayarnya," papar dia.

Eddy S (41) juga sempat khawatir ketika datang ke Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada. Takut biaya yang mahal, membuatnya beberapa kali ragu untuk masuk ke rumah sakit swasta di Pamulang, Tangerang Selatan tersebut. 

"Saya beberapa kali sudah sampai pintu rumah sakit, tapi urung masuk. Karena sudah gak tahan sakit, akhirnya masuk juga," ungkapnya.

Sejak pekan lalu, Eddy terpaksa menginap di ruang perawatan kelas I Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada. Ia mengeluhkan sakit di bagian perut dan warna kulit hingga matanya yang kini menjadi kuning. 

Diagnosis sementara dokter, ada masalah di bagian empedu karyawan swasta yang bekerja di Serpong, Tangerang Selatan itu. 

"Sempat mikirin biayanya, tapi dokter meminta saya untuk gak usah khawatir. Karena saya peserta BPJS. Jadi, ditanggung pemerintah," papar dia.

Dari penjelasan pihak rumah sakit, kata dia, biaya yang harus dikeluarkan setelah sepekan dirawat sekitar Rp 100 ribuan. Itu pun untuk biaya pemeriksaan laboratorium yang ternyata melebihi pagu yang ditanggung BPJS.

"Sejauh ini, ya hanya itu. Selebihnya saya tidak bayar apa-apa. Saya sudah jauh lebih baik, tapi masih menunggu hasil pemeriksaan dokter lagi," tutur dia.

Tak hanya biaya, ia pun merasa nyaman dengan pelayanan yang diberikan rumah sakit. Awalnya Eddy dirawat di ruang kelas II yang berisi tiga orang. Alasannya, karena ruang kelas I yang sesuai dengan pagu kartunya sedang penuh. Namun, begitu ada ruang kosong, ia pun langsung dipindahkan. 

Komar dan Eddy mengaku lega telah mengantongi kartu BPJS. Karena, pada saat dibutuhkan, kartu tersebut terbukti cukup sakti untuk memberikan bantuan.

Meski pun, kata Komar, ada beberapa persoalan saat menggunakan kartu tersebut. Misalnya, prosedur yang berbeda antara satu rumah sakit dengan yang lain. 

Di satu rumah sakit, cerita Komar, peserta BPJS dapat mendapat pelayanan dengan sangat baik. Bahkan, mendapat banyak kemudahan. 

Namun di rumah sakit lainnya, perlakuannya berbeda. Malah, seakan ada diskriminasi antara peserta BPJS dengan pasien reguler.

"Waktu istri saya hamil kedua itu, pernah kontrol (kesehatan) di sebuah rumah sakit, itu cuma bisa dua kali. Administrasinya juga ribet. Tapi di rumah sakit lain, kontrol itu bisa berkali-kali. Nggak tahu itu kenapa bisa beda," papar Komar.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris sempat menyinggung mengenai kemungkinan adanya rumah sakit yang melakukan penipuan (fraud). Karena, kasus itu pernah terjadi di negara lain. 

"Kami mengantisipasi kemungkinan indikasi fraud itu terjadi, sekaligus mengingatkan fasilitas kesehatan yang menjalankan program JKN ini agar tidak melakukan kecurangan," ujarnya di sela acara pemberian penghargaan Hospital Awards the Best Role Model RS Vertikal di Jakarta, Senin (8/9) malam. 

Ia menyebut, potensi kecurangan yang akan diantisipasi seperti mengubah atau menaikkan kode diagnosis dari yang seharusnya. Tujuannya, semata untuk mendapatkan klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.

Sejauh ini, kata dia, memang indikasi terjadinya kecurangan tersebut belum ditemukan. Namun, BPJS Kesehatan telah menyediakan sanksi tegas untuk para rumah sakit yang melakukan hal itu.

Sementara itu, Menkes Nafsiah Mboi menjelaskan, saat ini tercatat sebanyak 1.551 rumah sakit dari 2.353 rumah sakit di Indonesia telah menjadi penyedia pelayanan kesehatan.

Mencakup 17 rumah sakit (RS) pemerintah kelas A, 136 RS pemerintah kelas B, 292 RS pemerintah kelas C, 157 RS pemerintah kelas D, 123 RS khusus, 134 RS khusus jiwa, 586 RS swasta, 104 RS TNI, 10 RS Polri, 62 klinik utama. 

BPJS Kesehatan juga telah bekerja sama dengan badan penunjang lainnya, yaitu 1.311 apotek dan 790 optikal di seluruh Indonesia.

Meski pun jumlahnya telah meningkat, namun Nafsiah menambahkan, pemerintah tak akan segan untuk memberikan sanksi tegas bagi rumah sakit yang berbuat curang. Sanksi tersebut antara lain teguran hingga pemutusan kerja sama dengan rumah sakit tersebut.

"Yang paling berat, kami tidak bisa berkerja sama lagi karena latar belakang mereka hanya mencari keuntungan," papar Menkes.

Nafsiah pun berharap agar semakin banyak masyarakat yang dapat merasakan fasilitas BPJS Kesehatan. Meski pun pesertanya saat ini telah melebihi target. 

 

Hingga 4 September 2014, tercatat 127.309.887 orang telah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Angka itu jauh dari target awal sebesar 121,6 juta jiwa hingga akhir 2014.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement