REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi tak langsung terus menuai polemik. Pakar Hukum Tata Negara Oce Madril menilai, pemilihan tak langsung yang dilakukan melalui DPRD hanya akan menguntungkan elite partai politik dan mendapat resistensi dari masyarakat.
"Ini dimainkan segelintir elite parpol untuk kepentingan dan keuntungan sesaat. Dan pasti akan ditolak secara sosial oleh masyarakat," katanya kepada Republika, Rabu (10/9) malam.
Menurutnya, sistem pemilihan yang diterapkan saat ini dalam pemilihan kepala daerah sudah berada pada jalur yang benar. Hanya memang tak dipungkiri bahwa masih ada kekurangan di beberapa aspek. Maka, kata dia, yang diperlukan adalah perbaikan dan penyempurnaan kekurangan tersebut.
Oce mengatakan, wacana pilkada tak langsung akan mengembalikan bangsa Indonesia ke sejarah masa lalu. Artinya, kata dia, sistem demokrasi yang dibangun dengan susah payah justru kembali bergerak mundur.
"Kalau seperti itu (pilkada tak langsung) kita mengalamai kemunduran dalam berdemokrasi," ujar dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga aktivis anti korupsi itu.
Dalam RUU Pilkada itu, Kementerian Dalam Negeri menyetujui keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengadopsi sistem pemilihan umum kepala daerah bupati dan wali kota secara langsung. Selama pembahasan RUU Pilkada, awalnya Pemerintah mengusulkan pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dilakukan lewat DPRD, sementara untuk bupati dan wali kota melalui pilkada secara langsung.
Namun dalam perjalanannya terjadi perubahan kesepakatan, yakni sistem pemilihan gubernur dilakukan secara langsung sedangkan untuk pilkada bupati/wali kota, Pemerintah menginginkan dilakukan melalui suara DPRD.
Keinginan Kemendagri untuk pilkada tidak langsung didasarkan pada alasan mahalnya biaya pemilu yang dikeluarkan oleh peserta pemilu. Selain itu, berdasarkan kajian Kemendagri, konflik horisontal yang terjadi di daerah telah memakan puluhan korban akibat persaingan calon kepala daerah.