REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar geologi kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Wahyu Budi Setiawan mengatakan cara pencarian dan pengambilan air tanah oleh masyarakat Indonesia masih asal-asalan sehingga berpotensi merusak sumber daya air.
"Sebetulnya, proses pencarian dan pengambilan air sama seperti minyak bumi. Namun, karena air tidak menguntungkan secara ekonomi, proses itu tidak dilakukan," kata Wahyu Budi Setiawan di Jakarta, Jumat (12/9).
Peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI itu mengatakan pencarian air harus menggunakan kajian untuk memperhatikan struktur dan lapisan tanah. Selain itu, juga harus ada pengukuran akuifer atau lapisan pembawa air.
Menurut Wahyu, pengkajian itu harus dilakukan supaya didapat titik pengeboran air yang tepat. Debit air di dalam akuifer juga perlu diketahui. Jangan sampai air yang diambil menyebabkan akuifer menyusut dan menimbulkan dampak seperti penurunan muka tanah.
"Banyak kajian yang seharusnya dilakukan. Namun, siapa yang mau melakukan itu hanya untuk mendapatkan air. Kalau yang didapat minyak bumi, lebih menguntungkan," tuturnya.
Wahyu menjelaskan tanah terdiri dari beberapa lapisan. Ada lapisan pasir, tanah lempung dan batuan keras. Air tanah tawar biasanya ada di lapisan pasir yang memiliki pori-pori.
Tanah lempung menahan air tidak keluar ke permukaan sehingga perlu pengeboran sumur untuk mengeluarkan air.
Kajian juga perlu dilakukan supaya pengeboran tidak menembus lapisan air laut purba. Bila pengeboran menyentuh air laut purba, maka yang didapat justru air asin. Bila pengeboran yang dilakukan bocor juga bisa menyebabkan air laut purba mencemari air tanah di sekitarnya.
"Ada beberapa daerah yang menurut sejarahnya adalah wilayah laut. Karena itu, jauh di dalam tanah terdapat air laut purba, yaitu air laut saat itu yang tertahan di dalam tanah. Karena itu, jangan heran bila di Jakarta Selatan yang jauh dari laut, terjadi pengeboran sumur yang menemukan air asin," katanya.