REPUBLIKA.CO.ID, Namanya cukup mentereng, Masjid Al-Maun. Masjid yang termasuk megah untuk ukuran kampung pedalaman ini berdiri kokoh di pinggir Sungai Mahakam. Tepatnya di Kampung Long Gelawang, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu.
Sayang, masjid panggung dari kayu berukuran 10 x 10 meter dengan dominasi warna putih ini nampak tak terurus. Cat yang melapisi tembok luarnya mengelupas di sana-sini.
Lantai masjid di bagian luar berselimut debu, dan kotor. Memasuki bagian dalam, di ruangan shalat, telapak kaki langsung tercetak di lantai ketika kita berjalan di atasnya.
Jam dinding dengan jarum tak bergerak menghiasi tembok di atas mihrab. Kalender sobek tergantung di dinding sebelah kanan mihrab. Di pojok kanan ruangan, gulungan karpet berlumur debu menumpuk bak onggokan sampah. Yang paling memprihatinkan, suara azan tak terdengar lagi di masjid ini sejak dua tahun silam.
“Sejak imam meninggal dunia pada 2012 silam, masjid ini tak pernah dipakai lagi,” tutur Zarkawi, warga Long Gelawang. Pria 48 tahun yang mengaku sebagai penjaga masjid itu tak bisa meneruskan tugas sang imam.
“Saya tak paham agama, makanya tak berani jadi imam. Akhirnya, lambat-laun masjid sepi. Tak ada kegiatan ibadah baik shalat, mengaji atau ceramah agama. Warga pun terbiasa dengan kondisi ini,” kata dia saat ditemui KH Arief di dalam masjid.
Kampung Long Gelawang dihuni sekitar 152 kepala keluarga (KK). Pemeluk Islam—termasuk mualaf—mencapai 60 persen atau 90 KK, sisanya beragama Katolik. Mayoritas warga Long Gelawang berprofesi sebagai petani, peladang, atau buruh di perusahaan kayu.
“Tiap hari mereka di hutan, jarang di rumah. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu saja sudah tak ada lagi di masjid ini,” ujar Zarkawi.
Dan, Al-Maun pun tak ubahnya museum tua yang menyimpan sekelumit sejarah Islam di kampung pedalaman. Kondisi ini cukup menyesakkan dada Arief. “Memakmurkan masjid adalah kewajiban kita sebagai umat Islam.
Minimal shalat Jumat harus ada,” katanya pada Zarkawi. “Masjid ini begitu megah dan besar, tapi tidak dijadikan sebagai sarana ibadah. Kita berdosa jika memiliki masjid namun tidak melaksanakan shalat di dalamnya.”
Zarkawi menundukkan mukanya, memandang karpet yang nampak kusam di atas lantai. Sejurus kemudian ia berujar, “Kami mohon bantuan Pak Kiai agar mengirim ustaz ke sini, yang mau mengajarkan Islam. Jujur saja, di kampung ini tak ada orang yang mengerti agama.”
Arief berjanji memenuhi permintaan tersebut. Ia akan berupaya mencari dai atau ustaz dari lembaga atau ormas Islam, yang mau berdakwah di Long Gelawang. Harapannya, agar syiar Islam kembali marak dan Al-Maun tak lagi menjadi masjid ‘hantu’.