REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Rani Pramesti, lulusan Victorian College of the Arts di Melbourne, memiliki ide unik untuk mengangkat kisah sejumlah perempuan Indonesia keturunan Tionghoa. Beberapa di antara mereka adalah korban kekerasan berbau rasial yang terjadi pada Mei 1998.
Lewat karyanya yang diberi nama 'Chinese Whispers', Rani Pramesti, mencoba mengajak orang-orang untuk membicarakan soal perbedaan suku, ras, dan agama, yang kadang terlalu sensitif dibicarakan. Gadis asal Jakarta yang kini sudah 14 tahun tinggal di Melbourne, Australia, menuangkan idenya lewat instalasi seni yang unik, dalam bentuk lorong-lorong.
"Para penonton masuk secara berpasangan sambil memakai headphones," jelasnya. "Mereka akan mendengar suara saya, dan cerita saya mengapa saya pindah ke Australia, kira-kira setahun setelah kerusuhan Mei 1998, dan wawancara saya dengan berbagai perempuan Indonesia, yang kebanyakannya keturunan China."
Akan ada delapan ruangan yang mengangkat cerita-cerita para perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia. Mereka akan berbagi pengalaman hidupnya di Indonesia. 'Chinese whispers' adalah sebuah permainan yang populer di kalangan anak-anak, dimana menyampaikan pesan berantai dengan cara berbisik. Biasanya orang terakhir yang mendengarnya akan kehilangan arti pesan sesungguhnya.
"Jadi tujuan saya membuat Chinese Whispers ini adalah untuk memulai percakapan-percakapan mengenai perbedaan kami, secara suku, agama, dan ras, yang sangat tabu untuk dibicarakan selama rezim Suharto."
Ia berharap kalau orang-orang akan berpikir lebih dalam mengenai perbedaan dan merasa terpanggil untuk membicarakan isu-isu tersebut. Karyanya ini akan ditampilkan di Melbourne Fringe Festival, salah satu festival seni kontemporer terbesar di Kota Melbourne.