REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia dinilai belum patuh terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1267. Resolusi UN 1267 tersebut terkait pembekuan aset seseorang yang dianggap teroris oleh PBB.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Yusuf, mengatakan Indonesia menjadi salah satu dari 45 negara Asia Pasifik yang direview oleh salah satu badan PBB, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Indonesia merupakan anggota Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) yang berada di bawah FATF.
“Indonesia dianggap belum patuh, belum mampu melaksanakan rekomendasi itu. Indonesia diumumkan sebagai negara yang belum patuh, kita malu,” kata Yusuf seusai membuka Workshop bertema Implementing Targeted Financial Sanctions against Terrorism di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, Kamis (25/9).
Melalui workshop tersebut, PPATK dan lembaga lain yang berwenang mengundang pakar dari berbagai negara untuk berdiskusi. Negara yang diundang yang sudah patuh melaksanakan Rekomendasi UN 1267. “Kita diskusi, bisa tidak sistem hukumnya kita tiru,” imbuhnya.
Pejabat Direktur Hukum PPATK Fitriadi Muslim, menambahkan resolusi UN 1267 tersebut bertujuan membatasi akses seseorang yang dianggap teroris terhadap sumber-sumber keuangan. Resolusi UN 1267 menyebutkan tiga hal yang harus dilakukan terhadap orang yang dianggap teroris. Pertama, membatasi geraknya atau larangan bepergian. Kedua, pembatasan terhadap akses sumber-sumber senjata. Ketiga, pembekuan aset yang bersangkutan. Di seluruh dunia, terdapat 200-an nama di list FATF yang dianggap teroris.
“Indonesia dianggap belum melaksanakan SR3 atau special recommendation 3 tentang pembekuan terta merta seseorang yang namanya ada di list PBB,” jelasnya.
Acara workshop tersebut dihadiri oleh perwakilan sekretariat APG, dan perwakilan 11 negara.