REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok pro demokrasi Hong Kong mengelar aksi pembangkangan secara massal dengan menduduki pusat Kota Hong Kong. Aksi dari kelompok yang menamakan diri "Occupy Central" itu dipimpin oleh Benny Tai, dan diikuti oleh ribuan orang. Mereka berkumpul di depan kantor pusat pemerintahan di pusat Kota Hong Kong.
Dikutip dari BBC, aksi massa ini digelar menyusul ditangkapnya 60 orang demonstran, yang sebelumnya menggelar unjuk rasa di tempat tersebut. Dalam aksinya mahasiswa dan aktivis menentang keputusan pemerintah China baru-baru ini yang menutup kemungkinan diselenggarakannya pemilihan umum secara demokratis di Hong Kong pada 2017 mendatang.
Wakil pemimpin gerakan "Occupy Central", Mr Tai mengatakan akan menlancarkan aksi untuk memblokade pusat bisnis di Kota Hong Kong.
Aksi unjuk rasa pada Sabtu kemarin, tidak hanya ikuti oleh para pelajar, namun juga seluruh lapisan masyarakat. Jumlah tersebut terus bertambah, meski petugas kepolisian setempat menutup jalan menuju area unjuk rasa, dan mendesak mereka untuk pulang.
Sebagian besar pengunjuk rasa datang dengan mengenakan poncho dan kaca mata, untuk menjaga diri jika petugas kepolisian menggunakan semprotan merica, dalam membubarkan aksi tersebut.
Sebelumnya dalam aksi unjuk rasa yang digelar di tempat yang sama, sebanyak 30 orang mengalami luka setelah terjadi bentorkan dengan petugas kepolisian. Sebagaian besar mengalami luka karena terkena senjata semprotan merica yang digunakan polisi.
Kelompok Occupy Central mengatakan polisi tidak seharusnya menggunakan senjata yang melukai para pengunjuk rasa, karena aksi yang mereka gelar adalah unjuk rasa damai. Selain itu, pada aksi unjuk rasa Jumat (26/9) lalu, polisi menangkap 61 demonstran termasuk pimpinan aktivis Joshua Wong.
Kelompok Occupy Central pun mengancam akan terus menggelar aksi mereka, bahkan akan mengelar aksi unjuk rasa secara besar-besaran pada 1 Oktober mendatang. Para demonstran menuntut agar Pemerintah China mencabut keputusan tadi dan mengizinkan pemilihan umum demokratis penuh pada 2017 di Hong Kong.
Seperti diketahui, China, yang mengambilalih Hong Kong pada 1997, pernah berjanji pemimpin Hong Kong dapat dipilih lewat pencalonan publik. Tetapi parlemen China bulan lalu melarang pencalonan oleh publik, dan memutuskan calon-calon itu harus disaring oleh sebuah komisi yang setia pada Beijing.