REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan lima masukan bagi 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019 yang baru mengucapkan sumpah jabatan hari ini.
"Kajian KPK terhadap DPR sudah terjadi dan diserahkan kepada pimpinan periode sebelumnya, ada lima hal penting," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto seusai acara peluncuran aplikasi "Gratis" di Epicentrum Walk, Jakarta, Rabu (1/10).
Pertama adalah bagaimana proses perekrutan "supporting system" anggota DPR seperti tenaga ahli.
"Kalau mekanisme rekrutmennya tidak transparan dan akuntabel, maka orang yang membantu anggota dewan itu bukan orang hebat, padahal pekerjaan anggota dewan harus ditopang oleh orang-orang yang spesifik keahliannya diperlukan," ungkap Bambang.
Kedua adalah bagaimana membuat mekanisme untuk meminimalkan menyalahgunakan kewenangan dalam lobi.
"Di DPR dengan kewenangan legislasi, tidak mungkin tidak ada lobi. Pertanyaannya apakah ada sistem mekanisme untuk meminimalisasi potensi penyalahgunaan kewenangan dalam mekanisme lobi itu? Kalau tidak ada, maka di semua legislasi ada potensi korupsi," tambah Bambang
Ketiga adalah terjadinya konflik kepentingan. Ia mencontohkan hampir di seluruh komisi yang berkaitan dengan haji, ada pemilik travel haji di situ.
"Bagaimana mengontrol dia sebagai 'owner' tapi punya kewenangan sebagai regulator itu tidak bercampur konflik kepentingannya. mekanisme kontrolnya bagaimana? Atau ada 'lawyer' di komisi III, tapi berhubungan dengan law office-nya sehingga saat rapat dengar pendapat itu yang ditanya sesuai pertanyaan, bukan kasus," jelas Bambang.
Keempat adalah menghadirkan mekanisme yang dapat membangun integritas dan akuntabilitas di dalam DPR.
"Kalau DPR tidak punya mekanisme untuk mengontrol bagaiman akuntabilitas dalam tiga kewenangan pokoknya dilakukan, kita susah, misalnya pengawasan, sebagai pengawas, siapa yang mengawasinya? Karena tidak ada batas antara mengawasi dan mencampuri," tambah Bambang.
Kelima adalah evaluasi Badan Kehormatan (BK) DPR yang berdasarkan UU MPR, DPR dan DPD (MD3) yang baru berubah namanya menjadi Dewan Kehormatan.
"Dulu punya BK di DPR, sekarang dievaluasi sejauh mana kinerjanya, sekarang ada dewan kehormatan, dan kalau kinerjanya tidak dievaluasi akan sama dengan BK," tegas Bambang.