Senin 06 Oct 2014 18:40 WIB

Harga Pangan dan Energi Naik, Ini Penjelasan Istana

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Mansyur Faqih
Kenaikan TDL Warga mengontrol alat meteran listrik di salah satu gardu rumah susun di Tanah Tinggi, Jakarta, Jumat (24/1).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Kenaikan TDL Warga mengontrol alat meteran listrik di salah satu gardu rumah susun di Tanah Tinggi, Jakarta, Jumat (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah kalangan di masyarakat mengeluhkan kenaikan harga pangan dan energi. Menurut beberapa narasumber yang dikonfirmasi Republika, Senin (6/10), kenaikan harga pangan dan energi tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan.  

Staf khusus presiden bidang pangan dan energi, Harianto menjelaskan, kenaikan harga pangan dan energi disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, dari sisi jumlah penduduk dan pendapatan. Kedua komponen ini di Tanah Air terus mengalami peningkatan.  

Jika ini terjadi, maka otomatis permintaan pangan dan energi akan meningkat pula. Sehingga apabila pasokan tidak mencukupi, akan terjadi kenaikan harga. "Karena kalau kita lihat, anggaran rumah tangga kita pangan masih menduduki pangsa pasar terbesar," ujar Harianto kepada Republika di Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (6/10).  

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia per 2013 tercatat 249,9 juta orang. Sementara berdasarkan laman data statistik, pertumbuhan rata-rata penduduk Indonesia selama dekade 1990-2000 sebesar 1,49 persen per tahun.

Sedangkan, pertumbuhan rata-rata periode 2000-2005 dan 2020-2025 masing-masing 1,34 persen dan 0,92 persen per tahun. Kemudian dari sisi pendapatan per kapita per 2013 mencapai Rp 36,5 juta.  

Terdapat laju peningkatan sebesar 8,88 persen dibanding pendapatan 2012 yang tercatat Rp 33,5 juta.  Selain itu, Harianto menyebut pertumbuhan penduduk kelas menengah yang diikuti pergeseran pola konsumsi dari kualitas medium dan rendah menjadi kualitas tinggi.  

Dengan demikian, kenaikan harga yang terjadi mencerminkan kualitas barang yang meningkat. Karenanya apabila harga ingin distabilkan, perlu diperhatikan kualitas barang.  

"Nah, artinya kalau kita ingin stabilkan harga pangan secara umum, kualitas tinggi ini perlu perhatian. Yang selama ini kita lepas dan betul-betul diserahkan pada pasar. Jangan-jangan yang ini jadi penyebab kenaikan, sedangkan medium ke bawah stabil karena bisa diintervensi," kata Harianto.

Sebagai catatan, sejumlah lembaga, termasuk Bank Dunia, memproyeksikan penduduk kelas menengah Indonesia berada di kisaran 60 persen dari total penduduk atau sekitar 149,9 juta orang. 

Pengajar di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) menambahkan, seiring kenaikan pendapatan masyarakat, komponen jasa bahan pangan dan energi yang dibeli mengalami peningkatan. Sebagai contoh, beras yang dibeli saat ini tidak lagi beras curah. Melainkan beras premium dengan standardisasi, pengepakan, dan lain-lain.  

"Ada produk pangan, tapi komponen tadi bertambah. Sehingga orang bilang pangan itu bahan baku beserta tambahan. Sebenarnya ini hal yang normal karena semakin naik pendapatan, komponen jasa meningkat juga. Nah, ini harus diamati saat kita berbicara harga pangan secara keseluruhan," kata Harianto.

Ke depan, dia mengingatkan pentingnya mewaspadai korelasi tren kenaikan harga pangan dan energi. Ada kecenderungan harga energi yang naik akan meningkatkan pula harga pangan.  

"Dulu korelasinya rendah, sekarang mulai mendekat.  Kita khawatir harga energi naik, harga pangan mulai terdongkrak," kata Harianto.  

Jika ini terjadi, maka daya beli masyarakat akan berkurang signifikan dan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena konsumsi adalah motor pertumbuhan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement