REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Nora dulunya merupakan gadis sekolah menengah Prancis baik-baik yang bercita-cita jadi dokter, namun kehidupannya berubah saat dia memutuskan berangkat ke Suriah.
Nora adalah salah satu dari lebih 1.000 warga Prancis yang berangkat ke Suriah dan Irak untuk turut berperang bersama kelompok garis keras. Dia adalah salah satu contoh yang mematahkan dugaan bahwa warga Eropa yang pergi berjihad hanya berasal dari kelompok miskin.
Lahir dan besar di kota Avignon, Nora tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke Suriah pada Januari lalu saat dia masih berusia 15 tahun. Tindakannya membuat sang kakak, Fuad, berhenti bekerja untuk mencari Nora.
Dalam upaya pencarian, Fuad menemukan bahwa Nora punya dua kepribadian di media sosial Facebook. Dalam salah satu akun, Nora menampilkan diri sebagai seorang gedis biasa sementara di akun lainnya dia menulis hasratnya "berangkat ke Aleppo untuk membantu saudara-saudara di Suriah."
Fuad kemudian berhasil mengikuti jejak Nora dan terbang ke Suriah pada April untuk bertemu sang adik selama "satu setengah jam di bawah pengawasan Omar Omsan," seorang pria asal Prancis keturunan Senegal.
"Saya melihat kondisinya yang memburuk, dia nampak kurus, wajahnya membengkak dan menguning," kata Fuad kepada AFP.
Fuad tidak berhasil meyakinkan Omar untuk melepaskan Nora meski adiknya sempat mengatakan keinginan untuk pulang.
"Saya berada di tengah-tengah para hipokrit dan pengecut yang menteror warga Suriah," kata Nora sebagaimana pengakuan Fuad.
Dalam sebuah pembicaraan telephon dengan Fuad, Nora menangis sambil mengatakan bahwa keluarganya telah meninggalkannya sendirian.
Menurut pengacara Guy Guenoun, status Nora saat ini adalah "tawanan." Dia khawatir Nora dan gadis-gadis bawah umur lainnya akan digunakan sebagai "perawan bagi para gerilyawan."
Kasus Nora bukan merupakan satu-satunya di Prancis. Sebagian anak muda yang pergi ke Suriah sebetulnya hanya berniat untuk menyediakan bantuan kemanusiaan dan kemudian kecewa saat menemukan kenyataan sebenarnya.
Martin Pradel, seorang pengacara yang bagi sejumlah orang yang kembali ke Prancis dari medan perang, mengatakan bahwa arus keberangkatan ke Suriah meledak pada pertengahan 2013.
"Penggunaan senjata kimia oleh Presiden Bashar al-Assad dan keputusan Prancis untuk tidak melakukan intervensi adalah pemicu utama," kata dia.
"Para pemuda itu merasa bertanggung jawab untuk membantu warga Suriah," kata Pradel.
Mereka kemudian menghabiskan waktu berjam-jam di internet mencari foto-foto kekejaman Bashar dan menemukan pesan-pesan radikal dari kelompok garis keras seperti Daulah Islam (atau juga dikenal sebagai ISIS) dan juga Jabhat al-Nusra--cabang al-Qaida di Suriah.
Mereka tidak mencari informasi ke masjid-masjid dan justru menjauh dari keluarga dan teman sepermainan.
Pradel mengatakan bahwa proses radikalisasi berlangsung sangat cepat--sekitar "satu bulan"-- untuk satu orang.
Tidak semua warga Prancis terbang ke Timur Tengah yang ingin memulai jihad dengan cara kekerasan.
Salah satunya adalah Myriam (nama samaran), gadis 20 tahun mahasiswa jurusan hukum. Dia mengaku ingin tinggal di Arab Saudi karena negara tersebut menerapkan hukum syariah.
Kepada AFP, dia mengatakan bahwa mereka yang tidak dapat berangkat ke luar negeri dapat memulai jihad di negara masing-masing. Dia yakin kelompok garis keras akan "melakukan serangan di Prancis".