REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahaya jika jabatan menteri terlalu lama kosong karena tidak ada yang bisa mengambil kebijakan dalam kementerian tersebut.
"Semua menteri berhenti sejak 20 Oktober 2014, tidak bisa yang ambil kebijakan sampai ada serah terima jabatan (menteri) karena Sekjen hanya bisa menangani operasional saja," kata Yusril di Jakarta, Kamis.
Bahkan jika terjadi hal yang ekstrim, Yusril mencontohkan apabila terjadi kejadian luar biasa terhadap presiden dan wakil presiden, maka tidak ada yang bisa menjalankan pemerintahan. "Kalau presiden dan wakil presiden ditembak mati, ini misalnya, dan saya tidak berdoa seperti itu, maka negara ini bisa kacau karena nggak ada menteri yang menggantikan. Dalam UUD jika presiden dan wakil presiden tidak ada secara bersamaan akan digantikan oleh menteri," ungkap Yusril.
Yusril juga mengkomentari terkait Presiden Joko Widodo yang mengirim surat ke DPR untuk meminta pertimbangan terkait rencana pergantian dan penambahan jumlah menteri dalam susunan kabinetnya.
"Itu buang-buang waktu saja, karena penyusunan kabinet kewenangan presiden," ucap Yusril usai mengkuti sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mengatur hal tersebut, dan sebaiknya surat dikirimkan ke DPR setelah pembentukan kabinet sudah berjalan agar pemerintahan segera berjalan. Dengan adanya surat ini, lanjutnya, justru akan memperpanjang kevakuman pemerintahan karena harus menunggu waktu tujuh hari jawaban DPR untuk melantik menteri yang dipilihnya.
Pakar hukum tata negara ini mengatakan pertimbangan DPR ini diperlukan agar terjadi sinkronisasi kerja antarmenteri dan alat kelengkapan DPR. "Jadi, misalnya, ada komisi yang membidangi pendidikan budaya, kalau dibentuk kementerian baru kan harus ada tempatnya, itu aja sebenarnya, tidak ada tujuan lain," jelasnya.