Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Rukun haji wajib dipenuhi karena kalau tidak maka gugur keabsahan ibadah haji. Seorang calon jamaah haji harus menunaikan semua rukun haji yang terdiri atas ihram, wukuf di Arafah, tawaf di depan Ka’bah, melakukan sai, dan tahalul.
Selain rukun haji, juga dikenal sejumlah sunah haji yang melekat pada pelaksanaan ibadah haji. Seorang jamaah haji harus teliti dalam melaksanakan pelaksanaan haji ini, jangan sampai ada rukun haji yang ditinggalkan hanya untuk mengejar sesuatu yang sunah.
Ibadah haji dilaksanakan jauh sebelum Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam. Hanya saja pelaksanaan haji pada masa lampau terdapat banyak penyimpangan, lalu Nabi memperkenalkan pelaksanaan haji secara utuh kepada umatnya.
Di antara penyimpangan ajaran itu, yaitu tawaf pada masa lampau dilaksanakan malam hari dan dalam keadaan telanjang bulat, lalu dibenarkan oleh Rasulullah Saw dengan memperkenalkan pakaian ihram yang digunakan untuk pakaian ibadah haji.
Hikmah ibadah haji sering dijelaskan sebagai sarana untuk melakukan silaturahim akbar antara sesama umat Islam dari berbagai negara.
Ibadah haji juga sering diasosiasikan dengan Padang Makhsyar yang menampilkan kesamaan kemanusiaan tanpa membedakan status sosial dan ekonomi. Haji mabrur dimaknai sebagai manusia yang sempurna atau matang dengan selesai menunaikan rukun Islam kelima.
Namun, dalam perspektif tarekat dan hakikat, ternyata begitu dalam dan luas makna ibadah haji. Berbagai lokus dan simbol haji dihubungkan dengan kapasitas manusia sebagai miniatur makrokosmos.
Dalam perspektif ini ibadah haji juga dimaknai sebagai simbol drama cosmic, manusia jatuh dari surga kenikmatan ke bumi penderitaan, dan selanjutnya berusaha untuk kembali ke kampung halaman spiritual sejatinya melalui haji.
Dengan demikian, terlalu dangkal ibadah haji itu jika hanya dimaknai secara fikih, sebagaimana yang kita peroleh dari buku-buku dan ceramah-ceramah manasih haji.