REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah militer Thailand pada Senin (3/11), menjanjikan perdamaian bagi Muslim di selatan Thailand dalam waktu satu tahun. Janji itu diungkapkan di tengah macetnya pembicaraan damai untuk mengakhiri bentrokan yang menelan ribuan jiwa di dekade terakhir.
Reuters melaporkan, kekerasan sporadis telah menewaskan lebih dari 5.700 orang di provinsi mayoritas Muslim di Thailand yang berbatasan dengan Malaysia. Di wilayah tersebut perlawanan terhadap kekuasaan Buddha telah berlangsung selama puluhan tahun dan kekerasan muncul kembali pada Januari 2004.
Dalam aksi kekerasan terbaru Jumat (31/10), seorang wanita tewas dan sedikitnya dua orang terluka dalam serangan bom terpisah. Polisi mengatakan, serangan diduga diluncurkan oleh militan di tiga restoran di Provinsi Pattani.
Menteri Pertahanan Thailand Prawit Wongsuwan mengatakan, mengupayakan segala hal untuk membawa perdamaian dalam waktu satu tahun. Ia menyalahkan serangan pada pemberontak dan mengatakan serangan dilakukan sebagai balasan dari aksi penangkapan oleh pihak berwenang.
"Serangan terjadi karena kami berhasil menangkap banyak orang, termasuk para pemimpin dari kelompok yang terlibat penghasutan tindak kekerasan," tambah Prawit.
Kekerasan terjadi saat Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha memberikan gambaran untuk mencegah pemberontakan yang berbasis di Pattani, Yala dan Narathiwat. Pemerintah menyebut tiga provinsi itu sebagai wilayah pedalaman selatan.
Kekerasan kadang juga merambat ke Provinsi Songkhla yang dipadati wisatawan dari negara tetangga Malaysia. Provinsi tersebut dulu pernah menjadi bagian dari Kesultanan Melayu Muslim sebelum dianeksasi oleh Thailand pada 1902.
Selama ini pemerintah berupaya membendung kekerasan. Respons pemerintah terhadap pemberontak telah menuai kritik. Termasuk tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terhadap tersangka militan dan pendukungnya.
Sebelumnya pemerintah Perdana Menteri terguling Yingluck Shinawarta, telah setuju memulai pembicaraan damai dengan militan pada 2013. Pembicaraan yang dipuji kelompok HAM itu terhenti, setelah Yingluck terlibat dalam krisis politik.
Prayuth yang mengambil alih kekuasaan setelah kudeta berjanji melakukan investigasi, terhadap tuduhan pelanggaran HAM oleh tentara. Namun kelompok HAM mengatakan, ia gagal merealisasikan janjinya.
Pada Agustus, anak laki-laki Muslim berusia 14 tahun ditembak mati oleh satuan relawan tentara terlatih di Narathiwat. Penyelidikan polisi menemukan bukti, salah seorang tentara menyembunyikan pistol ke tangan korban setelah penembakan. Hal itu dilakukan untuk memunculkan tuduhan pemberontak pada anak tersebut.