Selasa 04 Nov 2014 10:48 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (6)

Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: AP Photo/ca
Jamaah haji melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Jika segalanya sudah terlepas dan kita seperti “telanjang” di hadapan Tuhan, maka kita dengan mudah juga akan ber-tawajjuh dan menyaksikan-Nya di mana pun kita berada melalui maujud dalam mana Ia memediakan dirinya.

Inilah yang dimaksud dalam ayat, “Dan, kepunyaan Allahlah timur dan barat maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]:115).

Suasana batin yang seperti inilah membuat seseorang sering mengucapkan ungkapan teopany (syathahat), misalnya, “Ka'bah itu ada di dahi kita”. Bagi orang awam dan asing dengan makna simbolis sulit menerima pernyataan tersebut karena segalanya akan diukur dengan logika atau legal formal.

Akan tetapi, orang-orang yang diberi kemuliaan Allah dalam wujud kesadaran spiritual tingkat tinggi, istilah-istilah seperti itu, bahkan lebih dari itu, bisa ia maklumi.

Mereka sudah sadar bahwa Allah SWT itu serbameliputi (al-Muhith), tidak bisa kita bicara apa pun tanpa melibatkan atau mengaikan Tuhan di dalamnya. Dengan kata lain, apa pun yang kita tangkap dengan panca indra, baik panca indra laihiriah maupun panca indra batiniah, sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengannya.

Mungkin dari sudut pandang inilah, Ibnu 'Arabi pernah mengatakan, “Jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal kesempurnaan engkau juga membatasi. Jika engkau bicara soal keduanya, engkau tepat mengenai sasaran; engkau seorang pemimpin dan syaikh dalam ilmu-ilmu makrifat.”

Redaksi yang hampir sama juga telah diungkapkan oleh Khaja Abdullah Anshari, “Tak seorang pun menegaskan keesaan Zat Mahaesa sebab semua orang yang menegaskan-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah pinjaman, tak diterima oleh zat Mahaesa. Tauhid atas diri-Nya adalah tauhid-Nya. Orang yang melukiskan-Nya sungguh telah sesat.”

 

Salah satu makna spiritual ibadah haji ialah melatih batin kita untuk mengerti, memahami, dan menghayati makna tersirat di balik segala sesuatu yang tersirat.

Sehubungan dengan ini, menarik untuk dihayati lebih dalam firman Allah SWT, “Dan, dari mana saja kamu ke luar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan, Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah [2]:149).

Semoga para hujjaj semuanya menggapai  tujuan (al-hajj), yaitu haji mabrur, haji yang dijanjikan dengan syurga jannah al-na'im (taman spiritual yang penuh kelezatan).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement