REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Putusan Pengadilan Pajak yang menolak memproses banding dua perusahaan Grup Asian Agri dinilai menyalahi ranah hukum perpajakan.
“Ada kesalahan Pengadilan Pajak terkait putusan tidak dapat diterima atas banding dua perusahaan Grup Asian Agri. Banding tak boleh ditolak dan harus diproses terus sampai pada putusan final,” kata Guru Besar Hukum Pajak Universitas Hasanuddin, Makassar Muhammad Djafar Saidi dalam rilisnya, Senin (10/11).
Menurutnya, salah besar kalau Pengadilan Pajak menganggap bahwa ketetapan Ditjen Pajak (DJP) itu berada dalam ranah administrasi negara. Sengketa atas ketetapan pajak, tegasnya, jelas berada dalam lapangan hukum pajak dan hukum pajak berbeda dengan hukum tata usaha negara (TUN).
Dalam putusan yang dibacakan Rabu lalu (11/5), dua majelis yang masing-masing berisi tiga hakim Pengadilan Pajak tidak secara bulat memutuskan bahwa banding dari dua perusahaan Asian Agri tidak dapat diterima.
Hakim anggota di dua majelis itu, Djangkung Sudjarwadi yang merupakan satu-satunya hakim majelis dengan latar belakang hukum berpendapat berbeda (dissenting opinion).
Ia menyatakan, Pengadilan Pajak berwenang untuk untuk mengadili sengketa dan proses dilanjutkan ke pemeriksaan materi.
Alasannya, kata dia, terbanding (Ditjen Pajak) dalam beberapa suratnya berpendapat bahwa permohonan banding pemohon banding memenuhi ketentuan formal pengajuan banding.
Selain itu, kata Djangkung, UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang TUN hanya mengatur lembaga gugatan oleh orang atau badan hukum perdata sebagai penggugat dengan badan atau pejabat TUN sebagai tergugat. Tidak mengatur lembaga banding antara pemohon banding dengan terbanding.
“Padahal sengketa a quo adalah sengketa banding, bukan sengketa gugatan. sehingga rujukan ke pasal 2 huruf e tersebut tidak berdasar dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum,” jelasnya.