Rabu 12 Nov 2014 22:39 WIB

Obama Akui AS Tanggungjawab atas Sejumlah Penyiksaan Perangi Teroris

U.S. President Barack Obama answers questions during a news conference in the East Room of the White House in Washington, November 5, 2014.
Foto: Reuters/Larry Downing
U.S. President Barack Obama answers questions during a news conference in the East Room of the White House in Washington, November 5, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Amerika Serikat pada Rabu menyatakan tidak membenarkan penyiksaan dalam keadaan apa pun, tapi kepada pengawas anti-penyiksaan Perserikatan bangsa-Bangsa mengakui melewati batas sesudah serangan 11 September 2001.

"AS bangga sebagai pemimpin dalam menghormati, meningkatkan dan membela hak asasi manusia dan hukum, baik di dalam negeri maupun di seluruh dunia," kata pemangku penasihat hukum Amerika Serikat Mary McLeod kepada Panitia urusan Penyiksaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang beranggota 10 orang.

"Tapi, sesudah serangan 11 September, kami sayangnya tidak selalu melaksanakan nilai kami sendiri," katanya.

"Kami melewati batas dan bertanggung jawab untuk itu," katanya, mengutip keterangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

McLeod adalah satu dari sekitar 30 pejabat tinggi Amerika Serikat berkumpul di Jenewa untuk pemeriksaan pertama atas Washington oleh panitia itu sejak 2006.

Dalam tinjauan pertamanya sejak Obama berkuasa, beberapa perutusan mengakui pelanggaran terjadi selama yang disebut "Perang Melawan Teror" di bawah pemerintahan George W. Bush sebelumnya.

"Kami mengakui bahwa tidak ada bangsa sempurna. Kami termasuk," kata Keith Harper, dutabesar Amerika Serikat untuk Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, kepada panitia itu.

Perutusan itu menghadapi berondongan pertanyaan dari anggota panitia tersebut tentang bagaimana negara itu berhadapan dengan pelurusan dan ganti rugi atas pengakuan pelanggaran selama "perang melawan teror".

Perutusan Amerika Serikat diminta menjelaskan mengapa penjara tentaranya di teluk Guantanamo di Kuba tetap dibuka, mengapa banyak tahanan tetap di sana tanpa dakwaan dan ketika Washington berencana menutupnya.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement